Minggu, 08 Desember 2013

sesuatu tentang teater ndes!

warning!!
jangan berharap banyak dengan judul dan isi.bila tidak berkenan dipersilahkan protes, kirim surat aja langsung ke pimpinan DPR klo mau,terima kasih.


Teater sebagai hiburan. Aspek itu tentu saja ada. Mungkin seperti serial Opera Van Java atau sinetron yang memang menghibur. Sebagai produk entertainment serenyah kacang goreng. Yang matang dan siap saji. Tak masalah. Lumayan untuk membuat tertawa. Tapi mari sejenak beranjak dari sudut pandang yang itu.

Teman saya seorang actor muda potensial wilayah jrakah bernama Viky yang juga personil Roda Gila dan Kelap-Kelip Bersaudara beranggapan bahwa teater adalah sebuah ketegangan. Dan untuk yang satu ini saya setuju. Sebagai medium untuk menggali kemungkinan-kemungkinan. Menafsir ulang, bila mungkin, dengan tafsiran-tafsiran baru yanga tak kolot. Sebuah proses rekonstruksi. Sebagai dunia alternatif yang tak juga menjadi sebuah seni yang populis atau juga terjebak dalam eksklusifisme kesenian. Katankanlah mungkin sebuah poros tengah, dan agaknya pada ketegangan itulah teater menemukan bentuknya. Cara berpikir seperti itu mungkin agak terkesan bahwa teater butuh sebuah militansi. Totalitas dimana seolah teater adalah poros penting pembangun masyarakat. banyak yang percaya dengan hal seperi itu. Tapi tidak dengan teman saya itu. Kilahnya bahwa dia hanya sekedar bersenang-senang dalam berteater dengan sedikit beban di pundak. Pada titik dimana saya kecewa dengan iklim dan ortodoksi itu, saya lagi-lagi setuju.  

Saya teringat dalam sebuah diskusi setelah pementasan yang masih saya ingat dibawakan oleh sebuah grup yang setidaknya di semarang mempunyai nama “besar” dan ketika seorang kawan yang lain lagi berkomentar “saya datang dan cukup terhibur”. Saya tambahkan sendiri kalimat itu dalam benak saya “saya merasa terhibur, sayang tak lebih dari itu…”. Peserta diskusi sibuk bertepuk tangan. Sang sutradara mungkin dengan pongah tersenyum sambil menepu dada, saya tak tahu. Lalu si sutradara berorasi dengan lantang tentang tema pementasanya; nilai-nilai moral dan semacamnya. Para peserta diskusi makin riuh dalam tepuk tangan, Meriah dalam suasana demonstrasi. Dan memang pementasan yang di semarang tumben penuh sesak dengan penonton itu cukup menghibur dengan humor-humor slapstick—yang sekarang entah sering kali menjadi tolak ukur kesuksesan pementasan—Penonton terpingkal-pingkal. Lalu pelantun hip-hop menyeruak panggung di masa transisi sementara kru sibuk memindah property. Berulang-ulang, mungkin 7-8 kali dalam satu jam pertunjukan. Penyanyi mengakhiri lagunya. Dan penonton kembali sibuk bertepuk tangan, beberapa sembari bersiul. Dua buah layar besar di panggung dengan seperangkat multimedia, berselang-seling antara matahari pagi yang smiley dan pilar-pilar istana bak istana di roma sebagai latar sesuai tuntutan cerita, rumah-rumah berbentuk jamur dalam posisi menjemukan yang simetris. Penonton lagi-lagi terperangah. Dialognya cerewet dan tak berisi. Tentang cerita lama; mahasiswa yang terjerumus seks bebas dan raja megalomaniak yang juga maniak daun muda plus kekuasaan. Seorang penonton bergaya emo melongo dalam pesona, agaknya terpikat. Teman sebelah saya sibuk menyakinkan saya bahwa pertunjukan kali ini adalah sebuah progresi dalam teater yang ternyata diamini oleh teman-teman saya yang lain; teater kontemporer yang progresif katanya. Saya tak tahu artinya.
Dan malam itu, sebuah diskusi menyematkannya sebagai sebuah pertunjukan teater yang sukses besar luar dalam, lahir dan batin, setidaknya di semarang. Tapi entahlah, saya lebih seperti menonton kethoprak dalam balutan modern, secara subjektif saya anggap terlalu banyak ruang kosong yang terbaca. Perunjukan itu bagus tapi bukan selera saya, agaknya seperti itu. dan saya lebih suka menonton kethoprak tradisional, sekalian nguri-uri budaya saya sendiri. saya tidak terhibur malam itu. Rp5000 yang mahal menguap kecewa, mubadzir….hoaah….
Sebuah kisah yang lain lagi.  rahwana stress menahan konak terhadap korban penculikanya, sinta, karena libidonya ditolak mentah-mentah. Rahwana heran, apa mungkin rama begitu perkasa di ranjang sampai membuat sinta tahan goda?
Dilematis memang, Sudah terlanjur menculik mengapa sekalian tak diperkosa hmmm… Bukan karena rahwana bodoh, tapi tahu bahwa takdir sudah digariskan. dalam wayang, dewa memang sosok yang bisa alpa, seperti manusia juga. Apa dewa memang bermain dadu? Bagaimana mungkin ada ending sinta yang berkorban demi kesucianya bila sinta sudah ia jamah? Pada akhirnya rahwana memang memilih untuk kalah. Rahwana tak khatam menjadi sosok jahat. Raksasa durjana yang mengorbankan semuanya menunggu kerelaan sinta meyemai cintanya. sadar hanya menjadi tokoh penggenap cerita hidup rama, rahwana dongkol. bedebah! Rahwana mengumpati para dewa….lampu meredup, kelir menutup.
Diwaktu lain waktu saya menonton teater tentang epos mahabarata itu, tak persis seperti diatas. lakonya sama seperti yang diceritakan orang tua kita dulu sebagai pengantar tidur; rahwana yang maha jahat dan rama yang baik hati dan mungkin beriman, entah kepada siapa. Rama ditampilkan dengan sosok yang seperti itu. Yang menarik  adalah konsep pertunjukan tersebut memulung, dalam bahasa halusnya mengadopsi konsep Opera Van Java persis lengkap dengan intervensi dalang terhadap wayangnya dan humor sebagai senjata utama. Entah itu menarik atau  mengenaskan? Merujuk pendapat saya bahwa teater adalah sebuah alternatif, Silahkan menilai sendiri.

Kaitanya adalah bila dua lakon yang dimainkan dua kelompok teater yang cukup “disegani” di semarang itu sebagai representasi, tentu memicu pertanyaan; apa teater hanya sekedar mencaci rahwana sebagai maniak seks penculik sinta? penyadaran akan nilai-nilai usang? Tidakkah mereka ingin bermain dalam sebuah perspektif baru yang sesuai dengan dinamika pemikiran dan masyarakat kontemporer intelektual dimana sebuah hal kadang tak bisa ditakar secara hitam dan putih. Why so serious? Ada wilayah abu-abu yang terlewatkan. Wilayah dialektik yang sering diklaim sebagai wilayah kaum intelektual—entah mengapa, saya beranggapan bahwa pelaku teater adalah orang-orang cerdas yang kebanyakan terdidik—. Wilayah yang sesak dengan kemungkinan dan multi-tafsir. Sebagaimana viky—yang teman saya itu— berpendapat, agaknya teater adalah salah satu medium pencarian itu; sebagai arena pemikiran yang berusaha keluar dari rutinitas monoton yang menjenuhkan. Memungkinkan pada pertemuan kemungkinan-kemungkinan.
Yang mengherankan adalah karena itu bukan yang pertama kali. Merujuk pada beberapa pementasan teater terakhir di semarang seperti beranjak ke masa lampau yang tak pernah saya kunjungi ketika teater “modern” Indonesia yang sesak dengan kritik dan patologi sosial yang menahun lahir. Dengan moralitas yang sama. Tentu saja karena naskah yang dimainkan adalah naskah-naskah lama atau yang kurang lebih sama yang berteriak lantang tentang yang “itu-itu juga”, Mungkin agak-agak berbau “kiri”. Tak masalah. Kita memang kurang produktif dalam memproduksi naskah. Lagipula tema-tema seperti itu memang populer di pada sebuah Negara dunia ketiga. Keadaan dari dulu memang belum berubah; kita masih tertindas. Tapi entahlah, komunis sepertinya mati karena uzur.
Tetapi ketika hanya tema-tema itu melulu yang ditawarkan, entah kenapa belum ada  juga yang jengah. Mungkin menunggu sampai keadaan Indonesia berubah. Mungkin ada kecenderungan untuk sekedar nostalgia. Bereuforia dalam kebesaran masa lalu (meskipun saya kurang tahu pada kejayaan teater di semarang pada masa lampau). Bahkan dalam konteks teater realis, Sebagian besar mementaskan naskah-naskah lama yang sayangnya tanpa sebuah pemahaman baru. Tanpa pemaknaan yang katakanlah lebih “cerdas”. Kebanyakan naskah terlalu cerewet—dengan asumsi bahwa penonton teater bukan sekumpulan orang-orang bodoh menonton mencari pencerahan. Kejelian untuk membaca peta penonton dibutuhkan disini (bedakan penonton semisal antara di desa dan gedung pertunjukan yang biasanya merupakan pusat aktifitas kesenian, tentu eksekusinya akan lain).

Tentu bukan berarti naskahnya yang tidak bermutu, yang dipertanyakan adalah kemampuan untuk mengeksekusinya. Pemahaman tanpa melihat dinamika perkembangan nilai dan pola masyarakat. Sebagian besar terjebak pada sebuah proses teater yang sibuk memperdebatkan bagaimana olah vokal dan dramaturgi. Mending kalau bagus, masih banyak dengan kualitas actor dan unsur intrinsik yang ala kadarnya, cenderung compang-camping. Sebagian lagi resah dengan minimnya fasilitas panggung dan hal-hal semacam itu. memang hal tersebut mesti tersyarat. Tapi terkadang wilayah ide terabaikan. Seolah teater hanya melulu teknis yang tak mentranformasi ide. Yang membuka kemungkinan baru, Tafsir-tafsir yang mungkin. Teater yang terlalu teknis sama juga tak mempunyai ruh. Sebuah dinamika yang membuat teater di semarang berjalan di tempat dalam wacana dan estetika yang tak beranjak ke mana-mana. Entahlah, zaman seharusnya bergerak maju. Teater seperti dikebiri, ruang gerak dibatasi dalam nilai yang baku dan kaku.
disini ada saya

Stagnasi yang membosankan. Yang itu-itu juga. Tidakkah itu menjenuhkan? Seperti merasa pada kondisi yang mapan—yang ditakar dari beberapa tahun terakhir selalu monoton, seperti nyanyi “lagu cinta melulu”. Tidak ada pergulatan ide; mengajak pada proses berpikir untuk menafsir ulang, seringkali teater hanya sesak dengan pesan moral yang terkesan menggurui. Stabilitas memang kadang membosankan. Tak ada gugatan dan memang jarang ada yang menggugat. Semuanya seragam. Tidak terdapat pihak yang saling ngotot dengan keyakinan. Suasana yang adem ayem, homogenitas yang menjemukan. Merasa diri “sudah merasa cukup”. Serasa tak terdapat ketegangan yang memicu inisiatif berinovasi. membuka kemungkinan dan perspektif yang segar. Teater “pendidikan” semacam ini memang laku keras di semarang. Entah karena itu pilihan atau mungkin tak tahu ada pilihan lain. Publik disuguhi dengan menu yang matang dan siap pakai. Terlalu baku dan tak bermain-main dengan realitas. Bukankah teater pada hakikatnya adalah semacam permainan juga? Bukan melulu memindah realitas ke atas panggung. Yang melulu tentang moral ibarat dakwah. Sesekali mungkin tak mengapa. Tapi kalau semuanya sama seperti itu, pastinya ada yang janggal. Setidaknya bagi saya.
Mungkin ada penonton yang kangen pada “peran” teater yang lain karena selalu disuguhi menu yang sama. Kebanyakan disuguhi daging, akhirnya saya kangen juga dengan tempe. Sebagai sebuah seni yang tak harus selalu melulu dibebani dengan tanggung jawab moral dan sosial. Sebagai medium tranformasi ide. Teater yang tak selalu serenyah kacang goreng. Teater sebagai bagian dari dialektika pemikiran yang tentu saja didalamnya otomatis berimbas pada nilai estetik juga.
Pemikiran berubah, nilai-nilai berubah. Teater seyogyanya bisa berdamai dengan jaman. Bukan dengan memelihara kekolotan. Ortodoksi yang biasanya berbahaya. Teater yang menggugah tafsir dan kemungkinan? Entahlah, bila mungkin itu ekspektasi yang terlalu muluk, saya kurang tahu.
Seharusnya ada yang tidak beres ketika teater di semarang ada pada keadaan “ hilang gairah untuk mencari”. Tapi hal itu juga merupakan isyarat lain. Adanya simbiosis antara penonton dan penyaji yang telah tertata mapan, yang berarti juga tak mengisyaratkan adanya perubahan. Tak merasa perlu belajar. Yang telah merasa mampu menghibur dan dihibur. Teater hanya sebagai hiburan?okelah. Tapi tentu tak beda jauh dengan budaya populis lain, sinetron misalnya. Dan saya tak perlu membayar tiket untuk menonton sinetron.
Kemapanan yang membuat tumpul. Tapi seharusnya teater tidak dimaksudkan sebagai sebuah hasil. Kata kuncinya disini adalah proses. Yang liat dalam bertranformasi. Yang tidak resah pada pertemuan dengan kemungkinan baru. Bukan mandeg dalam kemapanan. Isyarat bahwa semarang—mengutip istilah adin hysteria—sebagai “kuburan seni”. Ketika teater bukan sebagai ihktiar, sebagai sebuah proses. Yang mandeg dan membunuh kreatifitas dan akhirnya menyunat motivasi. Setidaknya bagi yang sadar kondisi.

Semarang yang terisolasi. sebagai salah satu kota besar, mungkin Jauh tertinggal dengan di kota lain. di sini, kota saya maksudkan sebagai sebuah rezim, sebagai identitas. Dalam sebuah peluncuran buku afrizal malna di semarang kemarin, kalau tidak salah berjudul “perjalanan teater kedua”, saya kurang ingat, dari diskusi saya tahu tak terdapat satu sosok teater di semarang yang mungkin “layak” untuk dia tulis dalam buku yang belum saya baca dan tak saya ketahui judulnya. 90 ribu cukup mahal bagi saya. Akan saya ralat ketika nanti sudah saya baca.
Mungkin sebab itu atau karena yang lain, saya juga kurang tahu. Tapi indikasinya adalah semarang luput dari peta teater nasional versi afrizal. semarang tak masuk ensiklopedi. Bukan bermaksud mendewakan, tapi setidaknya bisa menjadi salah satu bahan perbandingan bahwa teater di semarang tak mempunyai heterogenitas dalam ekspresi nilai estetik. Ekspektasi yang tak berlebihan memang ketika Afrizal memandang dari kacamata “teater kedua” yang artinya saya juga kurang paham, sedang semarang masih belum rampung dan anehnya masih merasa mapan dengan katakanlah “ketertinggalan”. Tak dipungkiri, letak geografis adalah sebuah identitas. Memperbandingkan kondisi teater di semarang dengan konsep estetika kontemporer yang banyak berkembang di daerah kantong-kantong seni lainya adalah seperti memandang ke awang-awang. jauh dan berjarak. Bukan berarti itu salah, tapi bagaimana akan ada perubahan ketika teater di semarang berlari di tempat seperti itu. Mungkin permasalahanya adalah ini; semarang telah merasa mapan dan percaya diri. Yang merasa telah menemukan. keengganan untuk belajar karena merasa mampu. teater telah direduksi sebagai sebuah hasil, bukan sebagai proses. Mungkin itu sebabnya teater semarang stagnan, monoton dari jaman baheula. Tak ada medan perang dimana ide saling dibenturkan yang memungkinkan untuk bertemu dengan kesalahan. Bukan bermaksud menghakimi, tapi mungkin saja ada yang berpendapat seperti itu. saya tekankan kata “mungkin” di sini.
Lalu saya kembali teringat perkataan teman saya Viky—yang nama profile FBnya zuper piki—yang pernah mengaplikasikan ilmu keaktoranya sekaligus memperdalam bahasa inggrisnya pada level tertinggi nun jauh di Kediri sana.
“teater sebagai proses untuk mencari jati diri. Dunia ini panggung sandiwara kawan galih. Dalam teater kita menjumpai realitas panggung. Setidaknya memungkinkan untuk bermain dengan realitas yang sebenarnya. Mari bersenang-senang. By the way, kebenaran adalah apa yang kau anggap benar” begitu katanya secara menyakinkan, entah mengutip dari mana. Dan memang kawan saya itu bukan manusia teater yang militan, hanya sekedar bersenang-senang. Tapi entahlah, Sulit bagi saya menangkap maksud perkataanya.
Saya masih heran pada kondisi ini sebagaima saya juga heran mangapa menuliskan hal bodoh dan tak penting semacam ini. mungkin  hanya sekedar menghabiskan waktu luang. Atau mungkin juga karena sebagaimana penonton bola, saya sebagai penonton yang membayar dengan segala kesubyetifitasanya tentu sah-sah saja menuntut ketika kecewa. Rp 5000 adalah nominal yang cukup banyak bagi saya. Entah siapa yang harus bertanggung jawab dengan iklim yang seperti ini. memang sudah sepatutnya Nurdin Halid mundur. Salam olah raga.

Tulisan ini dibuat sebelum Nurdin Halid mundur.
tim suksesi "NURDIN FOR 2014"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar