Kamis, 19 Desember 2013

pecas ndase pecah ndahe ndasmu pecah






Konsep baru yang diusung grup music humor Pecas Ndahe berhasil memuaskan dahaga ribuan Ndaser, penggemar setia pecas ndahe, dalam pementasan bertajuk "mati satu tumbuh seribu" di Pendopo Taman Budaya Jawa Tangah (TBJT) kamis (11/12) malam lalu. Dengan mengusung dan berkolaborasi dengan kelompok orchestra dan rebana, Pecas Ndahe berhasil menawarkan konsep pementasan baru dalam pertunjukan mereka. 
Pentas music yang dilakukan bertepatan dengan tanggal cantik, 11-12-13 tersebut menjadi momentum untuk kelompok orkes tersebut ungtuk mengembalikan eksistensi setelah sempat limbung karena ditinggal beberapa pilar. Dalam pementasan sepanjang 2,5  jam lebih tersebut, pecas ndahe menata panggung dengan balutan warna hitam, juga sebagai symbol atas berdukanya mereka setelah salah satu personil, pak dhe Emil meninggal beberapa waktu lalu. Sementara salah satu personil mereka juga keluar karena ada urusan pribadi. 
Dalam pementasan tersebut, pecas ndahe tetap mengusung konsep utama mereka, yakni music humor yang dibalut dengan berbagai dialog di sela-selanya. Yang agak berbeda adalah, penampilan kali ini mereka berkolaborasi degan beberapa seniman muda untuk meniupkan nafas baru. Kombinasi Pecasndahe, Orchesstra dari SMK 8 Surakarta, Trio Gegamas, serta permainan rebana dari kelompok hadrah IAIN Surakarta menjadi kekuatan musikalitas kolektif dari grup Doel Sumbing CS tersebut.
Dihadapan 2000 ndaser yang memadati pendopo, pecas ndahe tampil maksimal setelah beberapa lama mereka jarang tampill ke hadapan public. Banyolan khas mereka yang dipengaruhi oleh dagelan tradisi seperti dagelan mataram dalam ketoprak maupun ludruk mengalir dengan mulus mengocok perut ndaser. Kekuatan komposisi music yang digarap secara rapid an lebih kolosal membuat penampilan mereka kali ini terlihat lebih dewasa dan berkarakter. 
Dalam pementasan tersebut, Doel Sumbing yang ditemani Wisik Sunaryanto dan bintang tamu Max Baihaki yang menjadi frontman melontarkan berbagai macam wajah komedi. Dari humor slaptick sampai dengan kritil social menjadi tema candaan mereka. Berbeda dengan kelompok music humor lain yang banyak mengandalkan candaan lewat komposisi lagunya saja, Pecas Ndahe memberi proporsi dialog dan improvisasi yang cukup lama. Walhasil, penonton seperti menikmati sebuah pementasan drama komedi yang disisipi kekuatan musikalitas Pecas Ndahe. 
Salah satu personil, Wisik, mengatakan bahwa dalam pertunjukan tersebut memang Pecas Ndahe membiarkan permainan para personil mengalir, tentu dengan kemampuan membaca dan menguasai penonton. Tensi kelucuan dengan music dan dialog diatur oleh kemapuan para personil untuk membaca psikologis penonton, sehingga tidak muncul kejenuhan. 
“Dari sebelas lagu baru yang kami rencanakan, dua lagu tidak jadi kami nyanyikan karena waktunya juga sudah cukup panjang. Karena ya itu tadi, improvisasi mengalir tetapi tetap dalam koridor yang menjadi batasan kami dalam pentas,” ungkpanya.
Radit, 35, seorang Ndaser dari boyolali mengaku bahwa kedatanganya dalam pentas dua dasawarsa Pecas Ndahe memang disengaja. Maklum, dalam kurun waktu yang cukup lama tidak menyaksikan pentas langsung orkes humor tersebut.
“Saya puas sekali melihat pecas ndahe, karena setelah lama tidak nonton, saya disuguhi penampilan prima yang berbeda dengan penampilan-penampilan sebelumnya,” ucapnya girang sambil menunjukkan kaos bergambar wajah personil pecas ndahe. 








Sejarah Pecas Ndahe, sebagai salah satu pionir konsep music humor di solo, ternyata tak selucu dengan karya-karya mereka. Sebagaimana kelompok music dan grup seni lainya,para personil pecas ndahe juga mengalami naik turun sampaimenyisakan 7 dari 11 formasi personil awal.
Kemunculan pecas ndahe dimulai dari orkes sukapakah angkatan ketiga, sebuah kelompok ekstakulikuler dari mahasiswa fakultas seni rupa Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) yang terbentuk sejak 1983. Sukapakah generasi ini yang didalamnya berisi wawan (pendiri Bnd Timlo) dan doel sumbing atau sutopo (personil pecas ndahe sekarang) menjadi salah satu kelompok music yang cukup disegani dalam genrenya, keroncong humor. Sampai kemudian, pada tahun 1991 sukapakah dikontrak oleh salah satu major label nasional untuk masuk studio rekaman. Karena kesibukan mereka mangung dan rekaman, sukapakah generasi ketiga atau sukapakah senior lalu membentuk sukapakah junior yang digawangi Wisik Sunaryato, salah satu personil pecas ndahe sekarang. Sukapakah Junior ini dipasrahkan untuk mengisi pertunjukan tingkat local mengingat sukapakah senior cukup laris di tingkat nasional.
Setelah dua tahun berjalan, sukapakah junior makin berkembang dan terkenal. Sukapakah junior puin mengikuti jejak sukses seniornya, dikontrak sebuah stasiun radio. Pada tahun 1993, sukapakah senior dan yunior harus tampil sepanggung di acara ulang tahun di benteng vastenburgh. Lalu perpecahan mulai muncul, kedua kelompok orkes tersebut rebutan nama.
Wiwik Sunaryanto, menceritakan bahwa tepat sebelum manggung, mereka lalu memutuskan untuk membubarkan sukapakah junior dan langsung membentuk kelompok dengan nama baru. Disinilah nama pecas ndahe berasal. Karena mumet kesulitan untuk mencari nama orken baru yang pas dalam waktu singkat, mereka bersepakat untuk menamai orkes baru tersebut pecah ndase (kepala pecah, red). Tetapi karena dianggap terlalu kasar, mereka mengotak atik kata pecas ndase diplesetkan menjadi pecah ndahe.  
“ya begitu, karena ndas kami mumet memikirkan nama baru. Lalu jadilah nama pecas ndahe yang masih kami gunakan sampai sekarang,”jelasnya.
Wiwik melanjutkan, Pasca perpecahan tersebut, adalah doel sumbing yang selalu berusaha mendamaikan keduanya. Akan tetapi karena masalah prinsip dan lain-lain, kedua kelompok tersebut tetap tak akur. Dengan nama baru, pecas ndahe memisahkan diri dari sukapakah. Pada tahun 1995, sukapakah senior sempat vakum dan tenggelam. Setelah itu, sukapakah senior lalu bertranformasi menjadi band Timlo yang digawangi wawan Timlo. Sayang, Doel Sumbing tidak diajak masuk dalam formasi timlo.   
“Saya lalu diajak untuk masuk ke dalam orkes pecas ndahe,” ujar doel.
Perjalanan pecah ndahe pun sempat naik turun, baik dari popularitas sampai bongkar pasang personil. Trerhitung sejak tahun 2006, hanya tinggal 7 dari 11 personil awal yang sampai saat ini masih bertahan. Dengan sisa itu pula, pecah ndahe tetap berjalan dan eksis sampai sekarang.  
“dinamika sebuah kelompok kesenian, apalagi orkes music itu pasti terjadi dimana saja, jadi itu hal yang lumrah. Dengan potensi yang ada saat ini, kami akan terus berkarya dan mengembangkan pecas ndahe. 20 tahun adalah sebuah prestasi tersendiri karena kelompok ini masih bertahan,” Kata doel yang langsung diamini wiwik.




Musik humor tidak berarti remeh temeh. Dalam setiap karya, Pecas Ndahe mempersiapkan segala sesuatunya dengan serius. Termasuk juga dengan tata pementasan sampai dengan nilai konsep dalam karya mereka. Dengan sisa personil yang ada, Pecas Ndahe tetap berkomitmen untuk melanjutkan eksistensi mereka. Program dan manajemen yang baru telah dipersiapkan. Konsep berkarya mereka juga akan terus dimatangkan, tak sekedar menawarkan music, tetapi juga unsure kesenian lainnya. Pementasan ultah ke 20 kemarin menjadi salah satu laboratorium mereka untuk terus menggali dan mengeksplorasi konsep dan potensi musikalitas pecas ndahe.
Wiwik Sunaryato mengatakan, bahwa pementasan HUT ke 20 kemarin menjadi salah satu pijakan untuk kelompok tersebut untuk terus berkarya. Dikatakanya bahwa eksplorasi dan keluasan konsep dalam berpentas masih cukup luas. Meskipun secara kelompok, pecas ndahe adalah sebuah orkes music, tetapi dalam pementasan mereka tak sepenuhnya hanya menawarkan music saja. Tetapi ada dialog antar personil dan para penonton untuk menjaga tensi pementasan. Kelemahan dalam music humor adalah repetisi, sehingga penonton akan cepat bosan. Tetapi dengan memasukkan unsure drama komedi dalam pentas music, itu menjadi kunci agar penonton tidak jengah.
“Konsep lawakan kami pasti juga terpengaruh oleh lawakan-lawakan tradisi, semisal dari ketoprak atau ludruk. Tentunya kami sampai saat ini terus beradaptasi dengan perkembangan budaya agar tetap diterima oleh masyarakat,” jelasnya.
Terlebih saat ini, para personil pecas ndahe juga sudah membangun jejaring dengan seniman lintas disiplin. Sehingga dalam karya-karya mereka selanjutnya,pecas ndahe akan selalu menyuguhkans esuatu yang baru dalam konsep permainannya.

Sementara itu Doel sumbing mengatakan, bahwa selepas pertunjukan kemarin, kelompok ini sudah berkomitmen untuk membuat karya serius diluar pentas tanggapan. Karya serius yang dimaksud bukan berarti tidak ada humornya. Konsep humor yang ditawarkan masih sama tetapi dengan penggarapan musikalitas yang serius, tata pemanggungan atau aspek berkesenian lainnya dengan matang. Selain memantapkan eksistensi, rencana ini akan membuat pecah ndahe menjadi orkes music yang berbeda dengan kelompok lainnya. Pecas ndahe seakan bertranformasi seperti kelompok kesenian lain, seperti tetater atau yang lainnya. Dimana mereka membuat karya bukan hanya untuk popularitas dan keuntungan materiil. Tetapi lebih sebagai wujud eksistensi mereka dalam berkesenian.  
“Mungkin dua tahun sekali kami akan pentas. Jadi tidak hanya pentas ketika ada tanggapan. Setiap berkarya akan menjadi laboratorium kami untuk terus menggali potensi dan bereksplorasi dalam bermusik,” ungkapnya.  
Kefanatikan Ndaser menjadi salah satu sumber kekuatanpecas ndahe. Dulu, pernah pecas ndahe membuat karya pementasan  dimana karya tersebut dikonsep seperti pernikahan jawa. Dress code penonton adalah batik. Sementara tata panggungnya juga diseting sebagaimana pernikahan. Musiknya bahkan menggunakan batik. Dari 2000an penonton yang hadir, semua menggunakan batik. Bahkan banyak yang membawa ubo rampe karena benar-benar mengira bahwa acara tersebut memang pernikahan.
“itu salah satu contoh bentuk pementasan kami. Aspek kesenian lain kami masukkan juga sehingga karya kami dalam pementasanmen kaya unsure keseniannya. Dan kedepan, dengan nafas baru kami akan terus berkarya,” tandasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar