Kenes, sebuah sikap yang bergenit-genit ditampilkan dalam perspektif yang berbeda. Sikap kenes, dalam budaya jawa sendiri adalah sesuatu hal yang jamak, sebagai salah satu sikap yang manusiawi. Aspek penggalian kedalam diri manusia memang menjadi salah satu aspek utama dalam spiritualisme manusia jawa. Sebagaimana tercermin ragam produk kesenian tradisi jawa yang banyak mengejawantahkan pergolakan batin, menggali jadag kecil yang lebih bersifat spiritual. Sehingga dalam wujud produk budayanya, ekspresi batin kerap menjadi ide dasar dalam penciptaan sebuah karya seni. Tak terkecuali dengan kekenesan yang tak luput dieksploitasi sedimikian rupa dalam sebuah tari.
Dalam sebuah pementasan tugas akhir mahasiswa seni tari Institut Seni Surakarta, kamis (28/11) di teater kecil ISI Surakarta. Wujud kenes ini ditampilkan dalam beragam rupa bentuk dan konsep. Lima dari tujuh penampil menggali kekenesan dalam beragam interpretasi dan perspektif. Baik dalam wujud kiarya tari tradisi maupun kontemporer. Mila Restu Wardani misalnya. Dalam karyanya Gambyong Gambir Sawit, dimana dalam pertunjukannya hanya menampilkan seorang penari tunggal, kekenesan wanita jawa diwujudkan dalam sebuah bentuk kegenitan wanita jawa dalam wujud yang elegan, luwes, dan gemulai. Lebih menunjukkan sebuah kegenitan dalam etika keraton yang ketat, namun mempunyai nilai estetika yang tinggi. Kegenitan tidak diwujudkan dengan pinggul yang bergetar hebat, tetapi sensualitas gambyong muncul lewat ornamen-ornamen gerak tari yang harmonis dengan ketukan kendang dengan senyum dan lirikan mata yang gemulai tetapi menantang.
![]() |
| ngilustrasi |
Gambyong sendiri sejatinya adalah tari pergaulan di kalangan luar keraton yang kemudian masuk kedalam pagar keraton. Bila dibandingkan, gambyong mempunyai karakter dan fungsi yang sama dengan tari jaipong di jawa barat. Tetapi karena tarian rakyat ini masuk kedalam lingkup tari keraton, gesture serta nilai estetisnya pun kemudian harus direduksi agar sesuai dengan budaya keraton yang lebih luwes dan elegan.
Kekenensan itu pula yang mencoba ditampilkan oleh Dhestian Wahyu Setiaji, yang menampilkan tari menak koncar. Sebuah tari yang menggambarkan kegelisahan dan perenungan seorang menak koncar, yang diriwayatkan sebagai penguasa daerah lumajang jawa timur ini, sedang dilanda asmara. Dari seorang raja perkasa, tetapi tak luput pula untyuk bersolek dan bergenit ria ketika rasa rindunya meruap atas seorang wanita. Tarian menak koncar ini, pada prinsiopnya, hamper sama dengan ornament dan gerak dalam gambyong. Dimana seorang pria gagah tenggelam dalam kegemulaian gerak yang alus luwes dan lincah. Dengan penguasaan wiraga, wirama dan wirasa yang mutlak untuk mewujudkan seorang raja yang kenes.
Disisi lain, beberapa penampil juga menampilkan wujud kenes dalam perspektif seni kontemporer yang lebih bebas interpretasinya. Agung Wening titis purwanti misalnya, yang mengkoreografikan sebuah karya tentang cerita seorang perempuan yang terkungkung dalam sebuah ajian jaran goyang, mantra guna-guna yang dalam budaya jawa digunakan sebagai sebuah cara untuk menaklukkan hati wanita. Dalam karya berjudul kanthil tersebut, kegenitan dan kekenesan seorang wanita yang perasaannya telah tertutupi oleh mantra dimanifestasikan dalam gerak yang sensual sekaligus mistis. Kekenesan diwujudkan dalam gerak yang bebas yang liar dan menjurus ke erotis. Kekenesan seorang wanita dalam pengaruh mantra jaran goyang menjelma menjadi sebuah sensualisme yang estetik.
Sementara penyaji terakhir, Otniel Asman, juga menampilkan bentuk kekenesan dan sensualisme yang serupa. Dalam karyanya yang berjudul Barangan, otniel menggambarkan, bagaimana para penari lengger, sebuah tari rakyat khas banyumas yang lekat dengan sensualitas dan mistismenya, pada kahirnya hanya menjadi sebuah seni yang menghamba pada uang. Lengger digambarkan sebagai sebuah seni sudah direduksi habis-habisan menjadi sebuah karya yang mengekslpoitasi habis-habisan pinggul penari sebagi simbol sensualitas yang ditawarkan di jalanan. Dalam gerak yang dinamik dan energik, karya tari yang menggambarkan bagaimana lengger, dengan segala nilai sebagai sebuah kesenian rakyat, yang harus dimulai dengan macam pembakaran dupa, mantra dan kisah mistik yang melingkupinya tersebut, pada ahirnya harus tersisih dengan segepok recehan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar