Minggu, 08 Desember 2013

keris dan sebagainya




Menilik sejarah keris adalah sejarah politik, khususnya di kerajaan-kerajaan jawa. Dalam rentang waktu yang panjang sejak keris mpu gandring digunakan ken arok untuk membunuh tunggul ametung hingga kisruh kirab pusaka keraton kasunanan Surakarta beberapa waktu lalu, keris selalu berada di pusat perebutan legitimasi politik kekuasaan. Keris kerap kali pula diidentikkan dengan kuasa mistik pemiliknya.Dalam kosmologi masyarakat jawa yang menganut patriarki, keris merupakan salah satu dari lima hal yang harus dipunyai untuk mencapai keseimbangan hidup. Dalam hal ini, keris masuk dalam konsep curiga. Sedang empat lainnya adalah kukila atau piaraan, turangga atau tunggangan, wisma atau rumah dan terakhir adalah garwa atau istri.
Keris dipandang mempunyai suatu daya mistis yang lebih besar dari pada jenis senjata yang lain, sehingga memerlukan perlakuan yang berbeda pula. Keris dan senjata lain keramat lainnya atau sebagai pusaka harus dibersihkan (jamasan) setiap periode tertentu dengan upacara-upacara yang khusus pula. Senjata keramat tersebut dianggap mempunyai suatu daya magis, mempunyai roh yang dapat mempengaruhi kehidupan sang pemilik dan bahkan lingkungan sosial di lingkup kekuatan benda keramat tersebut. Hampir tiap keris sebagai senjata keramat mempunyai kesejarahannya masing-masing. Keris mpu gandring, dalam mitologinya, menjadi senjata yang menghabisi ken arok dan keturunannya. Sementara keris setan kober juga menjadi senjata yang mencabut satu per satu per satu pewaris tahta kerajaan demak hingga lahir kerajaanmatarm baru. Dalam sejarah politik jawa lampau, sebagaimana tertulis dalam babad-babad tanah jawa, keris menjadi symbol legitimasi kekuasaan.
Persebaran keris ini tidak hanya ada di jawa saja. Dalam tradisi-tradisi melayu, penggunaan keris masih kerap terlihat. Bahkan filipina juga mempunyai kerisnya sendiri. Sedang di indonesia, sumatera, lombok, sulawesi dan bali juga menjadikan keris sebagai salah satu bagian daei budayanya. Ditilik dari kesejarahan, penyebaran keris ini tak lepas dari masa ketika kekuasaan majapahit menguasai wilayah yang dinamakan nusantara. Tentu saja, kekuasaan politik ini juga membuat budaya lokal setempat terpengaruh dengan budaya majapahit, termasuk didalamnya adalah keris.
Dalam pembuatannya, hasil budaya yang sudah masuk dalam lindungan UNESCO sejak 2005 ini memang tidak dibuat untuk kepentingan praktis sebagai sebuah senjata saja. Daliman, salah satu dari sedikit empu keris yang masih tersisa sekarang ini menjelaskan, bahwa satu pembuatan keris yang bermutu bagus memerlukan waktu sebulan lebih. Pembuatannya pun tidak sembarangan, yakni melalui proses ritual dengan segala macam sesaji yang mesti tersedia.
Empu keris ibaratnya adalah sama dengan seniman. Pembuatan karya harus melalui proses terlebih dahulu, antara lain memahami karakteristik dan ide yang akan dituangkan dalam karyanya. Dan bagi para empu keris, medium pncarian ide yang bersifat spriritual itu dilakukan lewat puasa dan berbagai laku lainnya.
"karena keris juga adalah karya seni yang mempunyai nilai estetika. Ada maksud dan ide yang disematkan dalam karya, sama sebagaimana karya seni lainnya. Jika proses produk massal ditujukan untuk kepraktisannya, maka keris adalah sama seperti karya seni lainnya, keris mempunyai ide dan makna yang ingin disampaikan," jelasnya.
Secara garis besar, ada tiga bahan utama pembuatan keris. Yakni baja, besi terakhir adalah nikel yang nantinya akan membentuk pamor keris. Setelah ketiga bahan utama tersebut diluruhkan dan bercampur, kemudian ditempa dalam suhu 1000 derajat celsius kemudian dilipat dan ditempa lagi. Proses tersebut dilakukan berulang-ulang sampai bentuk keris sesuai dengan yang diinginkan si empu.
"dalam proses pembuatan ini, sang empu harus bisa menilai dan membaca karakter si pemesan. Semisal jika berdasar petungan jawa si pemesan itu pemarah dan sebagainya, maka keris yang dibuat adalah keris yang bersifat kebalikannya. Jadi keris disini adalah sebagai penyeimbang agar kehidupan menjadi selaras," terangnya.

J.F Dingemans, seorang budayawan belanda masa lampau pernah menuliskan bahwa  dalam tulisannya mengenai seni pembuatan pamor. Jika dirunut ke belakang, dalam salah satu teori asal mula keris disebutkan teknik penempaan yang berasal dari persia ini (atau banyak yang mengatakan dari damaskus) ini masuk ke Nusantara melalui India pada melalui persebaran kebudayaan hindu. Dan yang paling mencolok pada keris adalah pada pamor yang berarti campuran, besi campuran dan diambil dari suku kata wor yang artinya mencampur. Yaitu penempaan plat baja dan logam dengan kandungan nikel secara bersamaan hingga melebur.
Pada lapis permukaan, lapisan nikel itu menjadi tak tampak hingga kemudian diasamkan dengan asam arsenik sehingga bahan-bahan logam selain nikel akan luruh dan meninggalkan lapisan nikel yang akan membentuk kontur atau relief yang timbul pada keris.
Dari nikel yang yang membentuk relief itulah muncul pamor dari keris seperti yang kita kenal sekarang ini. Ketika teknik tersebut memunculkan pamor dengan motif-motif yang berbeda, maka para mpu pembuat keris kemudian melakukan pengerjaan pamor secara rahasia. Dalam perkembangannya, pamor kemudian dirancang sesuai dengan motif pamor yang akan dimunculkan. Tergantung dari penghitungan komposisi dan teknik penempaan yang berbeda pula dari setiap jenis pamor. Karena tingkat kesulitan inilah pamor akhirnya menjadi sebuah identitas bagi para Mpu. Dalam lingkup yang lebih luas, keris dengan pamor-nya—yang merupakan pembeda keris dengan senjata lainnya—menjadi identitas si empunya sendiri.
"meskipun perab empu dalam budaya keris sangat sentral, tetapi sampai saat ini belum ada lembaga atau organisasi yang mengayomi para empu yang saat ini sudah sangat sedikit jumlahnya. Begitu juga sampai saat ini belum ada pihak yang membuat standarisasi para empu" ujarnya.
Hal ini, menurut daiman, sangat penting untuk diadakan. Karena seorang empu bukan hanya pandai besi yang bermodal palu saja dalam membuat keris. Empu harus mengetahui konsep dan nilai filosofis yang terkandung dalam keris. Seorang yang membuat keris dalam produksi cetakan massal bukanlah seorang empu. Dengan adanya standarisasi tersebut, maka kualitas keris tetap terjaga.
"semoga nantinya dengan keberadaan museum keris yang sedang dibangun dapat mengakomodasi berbagai hal terkait dengan pelestarian keris," tandasnya. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar