Kamis, 19 Desember 2013

bukan musik biasa

Dua kutub musik yang berseberangan selalu memuncuulkan kemungkinan-kemungkinan baru ketika ditumbukkan. Meski dalam notasi nada yang bebeda, dengan kemampuan untuk mencari celah, harmonisasi sebuah komposisi bisa didapatkan lewat celah-celah yang selalu memunculkan kemungkinan-kemungkinan gaya dan warna baru dalam music.

Keuniversalitasan musikalitas alat music dari dua kultur yang berbeda kembali disuguhkan dalam Bukan Musik Biasa #37 di Pendapa Wisma Seni, Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), selasa (27/11). Tiga orang penyaji menampilkan komposisi mereka dengan beragam alat dan teknik sehingga selalu memunculkan potensi musikalitas yang jarang didengar. Apostolos misalnya, musikus asal Yunanio tersebut mencona mengkombinasikan dua alat music dari dua kutub yang berbeda sehingga memunculkan harmonisasi antara musikalitas etnik dan modern. Apostolos bereksperiman dengan kombinasi antara flute dengan gamelan jawa. Komposisi dari perpaduan antara etnik dan modern tersebut menghasilkan sebuah komposisi yang masih terasa kental nuasnsa etniknya, dibalut dengan nada-nada flute yang membalutnya. Komposisi yang dihasilkan tidak membuat satu kutub music menghilang, tapi saling mengisi. Nada-nada khas tercipta diantara celah notasi gamelan dan flute yang berbeda.
 Penyaji lain, Aji Agustian, bersama salah seorang rekan lainnya mencoba bereksperimen secara teknik dengan memainkan gitar dengan teknik memainkan cello. Menurutnya, eksperimen tersebut memang didasarkan pada kecintaannya pada music orchestra klasik. Dengan dasar itulah, Aji mencoba untuk menggali kemungkinan-kmungkinan nuansa music orchestra klasik dari gitar. Alat-alat music petik dicoba untuk disimultankan dengan pendekatan kwartet alat music gesek untuk menghasilkan nuansa kwartet orchestra.
“Awal mula kami ingin meniru format musik kwartet gesek namun menampilkanya bukan menggunakan alat gesek pula. Namun, lebih mengarah pada penampilkan dengan alat musik petik, yakni gitar dan bass,” terangnya. 

Sementara itu komunitas Dasanama, penyaji terakhir dalam BMB ke 37 tersebut mencoba untuk menubrukkan beragam instrument alat music gesek dengan suara sopran. Komposisi yang dihasilkan menghasilkan nada-nada ritmis yang saling bersaut.

 Etnomusikolog ISI Solo, Danis Sugiyato mengatakan bahwa pentas music malam itu menampilakn kekuatan musikalitas tran-musikal. Dimana komposisi-komposisi yang dibuat adalah sebuah bentuk pencarian musikalitas dengan beragam konsep serta perbenturan dua kutub music yang berbeda.
 “Pastinya, dari ketiga penampil ini mereka telah mampu menghasilkan susunan nada yang pas. melalui kombinasi nada-nada dari berbagai alat music khas dari berbagai daerahnya masing-masing,” pungkasnya.

gambyong dan lain-lain

Kenes, sebuah sikap yang bergenit-genit ditampilkan dalam perspektif yang berbeda. Sikap kenes, dalam budaya jawa sendiri adalah sesuatu hal yang jamak, sebagai salah satu sikap yang manusiawi. Aspek penggalian kedalam diri manusia memang menjadi salah satu aspek utama dalam spiritualisme manusia jawa. Sebagaimana tercermin ragam produk kesenian tradisi jawa yang banyak mengejawantahkan pergolakan batin, menggali jadag kecil yang lebih bersifat spiritual. Sehingga dalam wujud produk budayanya, ekspresi batin kerap menjadi ide dasar dalam penciptaan sebuah karya seni. Tak terkecuali dengan kekenesan yang tak luput dieksploitasi sedimikian rupa dalam sebuah tari.  
Dalam sebuah pementasan tugas akhir mahasiswa seni tari Institut Seni Surakarta, kamis (28/11) di teater kecil ISI Surakarta. Wujud kenes ini ditampilkan dalam beragam rupa bentuk dan konsep. Lima dari tujuh penampil menggali kekenesan dalam beragam interpretasi dan perspektif. Baik dalam wujud kiarya tari tradisi maupun kontemporer. Mila Restu Wardani misalnya. Dalam karyanya Gambyong Gambir Sawit, dimana dalam pertunjukannya hanya menampilkan seorang penari tunggal, kekenesan wanita jawa diwujudkan dalam sebuah bentuk kegenitan wanita jawa dalam wujud yang elegan, luwes, dan gemulai. Lebih menunjukkan sebuah kegenitan dalam etika keraton yang ketat, namun mempunyai nilai estetika yang tinggi. Kegenitan tidak diwujudkan dengan pinggul yang bergetar hebat, tetapi sensualitas gambyong muncul lewat ornamen-ornamen gerak tari yang harmonis dengan ketukan kendang dengan senyum dan lirikan mata yang gemulai tetapi menantang.



ngilustrasi

Gambyong sendiri sejatinya adalah tari pergaulan di kalangan luar keraton yang kemudian masuk kedalam pagar keraton. Bila dibandingkan, gambyong mempunyai karakter dan fungsi yang sama dengan tari jaipong di jawa barat. Tetapi karena tarian rakyat ini masuk kedalam lingkup tari keraton, gesture serta nilai estetisnya pun kemudian harus direduksi agar sesuai dengan budaya keraton yang lebih luwes dan elegan.
Kekenensan itu pula yang mencoba ditampilkan oleh Dhestian Wahyu Setiaji, yang menampilkan tari menak koncar. Sebuah tari yang menggambarkan kegelisahan dan perenungan seorang menak koncar, yang diriwayatkan sebagai penguasa daerah lumajang jawa timur ini, sedang dilanda asmara. Dari seorang raja perkasa, tetapi tak luput pula untyuk bersolek dan bergenit ria ketika rasa rindunya meruap atas seorang wanita. Tarian menak koncar ini, pada prinsiopnya, hamper sama dengan ornament dan gerak dalam gambyong. Dimana seorang pria gagah tenggelam dalam kegemulaian gerak yang alus luwes dan lincah. Dengan penguasaan wiraga, wirama dan wirasa yang mutlak untuk mewujudkan seorang raja yang kenes.

Disisi lain, beberapa penampil juga menampilkan wujud kenes dalam perspektif seni kontemporer yang lebih bebas interpretasinya. Agung Wening titis purwanti misalnya, yang mengkoreografikan sebuah karya tentang cerita seorang perempuan yang  terkungkung dalam sebuah ajian jaran goyang, mantra guna-guna yang dalam budaya jawa digunakan sebagai sebuah cara untuk menaklukkan hati wanita. Dalam karya berjudul kanthil tersebut, kegenitan dan kekenesan seorang wanita yang perasaannya telah tertutupi oleh mantra dimanifestasikan dalam gerak yang sensual sekaligus mistis. Kekenesan diwujudkan dalam gerak yang bebas  yang liar dan menjurus ke erotis. Kekenesan seorang wanita dalam pengaruh mantra jaran goyang menjelma menjadi sebuah sensualisme yang estetik.
Sementara penyaji terakhir, Otniel Asman, juga menampilkan bentuk kekenesan dan sensualisme yang serupa. Dalam karyanya yang berjudul Barangan, otniel menggambarkan, bagaimana para penari lengger, sebuah tari rakyat khas banyumas yang lekat dengan sensualitas dan mistismenya, pada kahirnya hanya menjadi sebuah seni yang menghamba pada uang. Lengger digambarkan sebagai sebuah seni sudah direduksi habis-habisan menjadi sebuah karya yang mengekslpoitasi habis-habisan pinggul penari sebagi simbol sensualitas yang ditawarkan di jalanan. Dalam gerak yang dinamik dan energik, karya tari yang menggambarkan bagaimana lengger, dengan segala nilai sebagai sebuah kesenian rakyat, yang harus dimulai dengan macam pembakaran dupa, mantra dan kisah mistik yang melingkupinya tersebut, pada ahirnya harus tersisih dengan segepok recehan.

wayang driwedari dan lain lain





Sejarah singkat wayang orang sri wedari;  dari kesenian keraton menjadi kesenian rakyat
Sejarah kelompok wayang orang sri wedari sudah terentang panjang selama 103 tahun. Awal mulanya, kesenian tersebut merupakan kesenian eksklusive keraton kasunanan yogyakarta dan mengkunegaran. Sebelum tahun 1895, kesenian ini masih mengadopsi konsep pemanggungan pendapan, yakni wayang orang dimainkan di pendopo keraton. Sekitar tahun 1895 itulah, keraton manhkunegaran mengalami krisis keuangan sehingga Mangkunegara VI membubarkan kelompok wayang orang yang merupakan abdi dalem istana tersebut.
Koordinator Wayang Orang Sriwedari, Agus Prasetyo menjelaskan bahwa setelah dibubarkannya kesenian wayang orang tersebut, para seniman wayang orang tersebut lalu mengembangkannya di kampung-kampung. Dan pada akhirnya, seorang tokoh keturunan cina bernama gan Kam melihat celah untuk mengkomersilkan kesenian wayang orang yang sejatinya merupakan kesenian elite keraton tersebut. Oleh gan Kam, format wayang orang dimodifikasi dengan menggunakan kosep pemanggungan modern atau konsep teater barat seperti sekarang ini, seperti bentuk panggung, tata cahaya, sound sistem dan sebagainya yang sampai saat ini masih digunakan.
“Dulu banyak petinggi keraton yang menentang kesenian elite keraton dipentaskan di masyarakat umum. Tetapi oleh Pakubuwono X, kesenian dari mangkunegaran tersebut direstui dan dibina,” jelasnya.
Agus menambahkan, bahwa restu pakubuwono tersebut sedikit banyak bermotif politik. Ada anggapan yang mengatakan bahwa upaya pakubuwono X untuk mengakomodasi wayang orang tersebut karena ingin menuinjukkan pada khalayak, bahwa kesenian mangkunegaran lebih rendah daripada kesenian keraton kasunanan.
Lalu oleh pakubuwono X, pada tahun 1910 kesenian wayang bentukan Gan Kam lalu diakomodasi dengan memberikan mereka tempat pementasan di kebon Rojo, nama asli dari komplek taman sri wedari sekarang. Dan sampai sekarang, pada tahun itulah kesenian wayang orang sri wedari secara resmi lahir.
“Konsep pemanggungan wayang orang sri wedari inilah yang menjadi cikal bakal wayang orang saat ini. dan bisa dikatakan, konsep kesenian tradisi yang diusung dalam konsep pemanggungan modern ini merupakan kali pertama sejarah teater modern di indonesia,” tambahnya.
Dalam masa kejayaannya yang pertama, pada waktu awal-awal berdirinya wayang orang sriwedari sangat diminati masyarakat. Maklum saja, karena sebelumnya kesenian tersebut hanya bisa ditonton oleh elite keraton. Walhasil, pada saat itu kepopuleran wayang orang sri wedari mampu menyaingi kepopuleran bioskop. Puncak kejayaan wayang orang ini sampai di titik kulminasi sampai dengan akhir tahun 1970an ketika budaya populer mulai masuk lewat televisi. Karena bersifat instant dan terdistribusi melalui media massa, akhirnya wayang orang sri wedari kalah populer dan mulai sepi penonton.
“dulu pada saat jaya-jayanya, Tidak seperti sekarang, penonton harus antri tiket dan bahkan sudah ada calo karena saking populernya kesenian tersebut,” sambungnya.
Sedang untuk periode pengelolaanya, wayang orang Sri wedari pun sempat beberapa kali berganti manajemen. Sampai dengan tahun 1945, kelompok ini masih berada di bawah naungan kasultanan surakarta sampai kemudian kasultanan menleburkan diri dengan republik indonesia. Pengaturan wayang orang sri wedari pun berpindah di bawah kepemimpinan dinas terkait sam[pai dengan sekarang.
“Perbedaanya ialah jika waktu dibawah kasultanan, para pemainnya berstatus abdi dalem, maka di bawah pemerintah status pemain wayang orang sri wedari adalah pegawai begeri sipil,” paparnya.




Dalam rentang 103 tahun, kesenian wayang orang Sriwedari (WOS) adalah bukti eksistensi yang panjang sebuah seni tradisi yang masih bertahan sampai saat ini. Dalam catatan sejarah yang panjang itu pula, WOS tercatat tidak pernah mengalai kevakuman pementasan, walaupun mengalami pasang surut jumlah penonton. Sekarang ini, upaya pelestarian salah satu monumen kesenian non artefak tersebut terus diupayakan untuk menjaga kelangsungan kesenian yang kian surut oleh agresi kebudayaan modern tersebut. Berbagai kendala menghampiri eksistensi WOS, dari mulai gedung yang sudah compang camping hingga speaker taman hiburan sri wedari yang langsung menghadap ke gedung wayang orang tertua di indonesia tersebut. Sebagai salah satu identitas budaya kota solo, sudah selayaknya jika wayang orang menjadi prioritas untuk dijaga keseltariannya, termasuk juga dari distorsi suara dangdut saat pementasannya.
Kasi seni budaya dan kesenian disbudpar kota solo, sudyanto menjelaskan, bahwa untuk saat ini pemain wayang orang sri wedari terdiri dari tiga status, yakni tenaga magang, honorer, serta pegawai negeri sipil dari jumlah keseluruhan pemainnya sebanyak 72 orang. Dimana untuk yang berstatus PNS ada sebanyak 37 orang, 11 wiyata bhakti dan 23 pemain magang yang tidak digaji.  Upaya peningkatanprofesionalisme WSO juga dilakukan dengan perekrutan-perekrutan dari sarjana seni.
“Kita ingin agar wayang orang sriwedari tetap lestari dan semakin profesional baik dalam ppemanggungan maupun dalam manajemen,” ujarnya.
 saat ini peningkatan jumlah penonton penonton wayang orang sriwedari saat ini cukup signifikan setelah sebelumnya sempat mengalami kemerosotan. Berbagai upaya yang dilakukan untuk kelestarian WSO antara lain dengan mengadakan berbagai agenda yang melibatkan eksistensi wayang orang di berbagai event. Antara lain pada kirab-kirab budaya, pentas-pentas gabungan dengan paguyuban wayang orang dari berbagai kota, hingga mengadakan konsep pementasan yang lebih interaktif dengan penonton.
"sekarang ini jumlah penonton untuk hari jum'at dan sabtu mencapai 200 orang. Sementara hari biasa paling cuma belasan orang. Tetapi kalau dirata-rata perminggunya sebanyak 50 penonton per hari," ujarnya.
Untuk meningkatkan kembali animo masyarakat dengan wayang orang, WSO juga sempat menjalin kerja sama dengan dinas pendidikan. Dimana menonton wayang orang menjadi salah satu kegiatan keilmuan di sekolah tersebut. Begitu juga dengan pengadaan-pengadaan festival wayang orang untuk anak-anak.
Upaya lain agar penonton mengerti dengan cerita dan alur wayang orang yang dipentaskan adalah pemasangan screen di sebelah panggung. Dalam screen tersebut, sinopsis cerita wayang ditampilkan agar penonton dapat mengetahui alur cerita. Maklum saja, untuk penonton dari kalangan anak muda, kebanyakan memang tidak mengerti dialog wayang orang yang memakai bahasa jawa.
“Nanti kami juga akan menyediakan informasi tentang inti atau kesimpuan cerita wayang orang yang dipentaskan. Sehingga nilai-nilai yang dikandung dalam cerita juga bisa dimengerti oleh para penonton,” sambungnya.
Disisi lain, dengan harga tiket Rp 3000 perak memang tak bisa banyak diharapkan bahwa kesenian ini mampu menghasilkan PAD yang banyak. Nominal yang telah bertahan selama belasan tahun ini memang agak dilematis, bahwa terkesan harga tiket tersebut tidak ngregani kesenian itu sendiri. Harga tiket tersebut seperti tidak menunjukkan bahwa kesenian orang mempunyai wibawa, kalah dengan harga tiket dangdut di taman Hiburan sri wedari yang tiketnya mencapai Rp 10 ribu rupiah. 


titik titik titik titik titik


Adalah bambang sumantri, ksatria gagah rupawan putra pendeta sakti sekaligus menjadi patih negara maespati. Tak ada cacat dalam pengabdiannya kepada raja arjuna sasabahu, kecuali bahwa sumantri mengorbankan adiknya, Sukrasana, sesosok raksasa berwajah buruk untuk mencapai posisi yang diduduki sumantri. Sukrasana yang sampai dengan ajalnya setia pada sumantri, yang sejatinya telah menolong sumantri untuk memindahkan taman sriwedari sebagai syarat dirinya menjadi patih, akhirnya dibunuh oleh tangan sumantri sendiri yang tak kuat menanggung malu mempunyai adik yang bertampang buruk. Sementara sumantri sendiri tetap menyongsong dalam perang melawan dasamuka sebagai tanggung jawabnya sebagai seorang patih. Meski sumantri sudah mengetahui bahwa pertempuran itu akan menjemput ajalnya, sebagaimana sudah diberitahukan sukrasana.

sedikit dari petilan kisah "sumantri ngenger" yang dipentaskan dalam pertunjukan wayang orang di gedung wayang orang (GWO) sri wedari tersebut adalah sebuah lakon, yang jika didalami dan dihayati, banyak menyimpan nilai dan sifat manusia yang masih kontekstual sampai saat ini.Pemerhati dan pelaku budaya, ST Wiyono menjelaskan bahwa dalam cerita epos mahabarata dan ramayana, kitab yang menjadi sumber ceritera wayang orang, setiap tokoh tidak digambarkan dalam hitam putih. Para tokohnya selalu ditampilkan dalam abu-abu, sebuah pengakuan dan kesadaran bahwa sebenarnya tak ada satupun sosok yang sempurna. Bahkan dalam cerita wayang, sosok bathara juga diriwayatkan mempunyai khilafnya sendiri. Seluruh tokoh dalam pewayangan mempunyai peran masing-masing yang tak bisa dihilangkan dalam konsep satu kesatuan cerita. Setiap watak dalam tokoh tersebut tak melulu baik dan jahat. Tokoh dalam pewayangan lebih mencerminkan kemampuan manusia yang terbatas. Bahwa setiap tokoh mempunyai potensi untuk berbuat baik dan jahat. Sebagaimana sumantri, ksatria yang lupa diri dengan adiknya. Disisi lain, sumantri adalah ksatria yang rela menjemput ajal untuk menjaga tugas yang diembannya.
Kompleksitas karakter tersebut pulalah yang membuat penokohan seorang aktor wayang orang menjadi lebih sulit daripada teater tradisi. Bukan bermaksud membandingkan, tetapi dalam wayang orang, seorang aktor harus mampu menari dan syukur-syukur bisa bernyanyi, serta kemampuan untuk mensinkronisasikan gerak dengan iringan gamelan. Dalam dialog wayang orang misalnya, terdapat istilah Ontowocono atau teknik dialog yag baku. Semisal karakter suara gatotkaca yang berat serta arjuna yang halus. Itu semua harus benar-benar dikuasai oleh pemain wayang orang.
 “sementara kalau dari perbandingan antara bentuk teater modern dan tradisi seperti wayang orang, secara teknik wayang orang ini lebih sulit,” ungkapnya.
Untuk pementasa dalam Wayang Orang Sriwedari (WSO), ST Wiyono menilai bahwa saat ini secara teknis menari memang mengalami peningkatan kualitas. Hanya saja dalam pendalaman karakter, para pemain wayang orang sri wedari sekarang masih kalah dari para pendahulunya. Wiyono menilai bahwa faktor background para pemain menjadi salah satu perbedaan karakter WOS sekarang dan dulu.
“Sekarang kan pemainnya diambil dari para sarjana seni, jadi mereka memang matang secara teknik. Tetapi secara pendalaman masih kalah dengan generasi terdahulu yang kaya akan wawasan dan pengetahuan tentang ceritera wayang mereka menjadikan wayang orang sebagai bagian integral dalan kehidu[pannya,” bebernya.
Secara umum, kesenian wayang orang sekarang ini dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, antara lain dari kacamata rekreaqsi atau hiburan, edukasi serta terakhir aspek kultural. Dan khusus untuk fungsi WOS sekarang ini, Wiyono menilai bahwa WOS masih condong hanya menjadi aspek hiburan saja. Sementara aspek kultural ataupun aspek edukasinya belum tergarap secara maksimal. Sementara dalam frame industri dan kesenian, WOS sendiri belum bisa dikatakan mantap. Menurutnya, perlu dilakukan beberapa modifiikasi agar kesenian ini mampu bersaing dengan industri hiburan modern lainnya. Dibutuhkan sebuah penyegaran seperti aspek penutradaraan, kepenulisan naskah ataupun pemanggungan yang lebih kreatif. Bila WOS mampu mensinergikan aspek-aspek tersebut, maka dipastikan bahwa kelestarian WOS sebagai bagian dari sejarah kebuadayaan solo akan tetap bertahan.
“Semisal sekarang ini, banyak dalang handal yang memodisikasi wayang dalam bahasa yang lebih komunikatif atau meminimalisir bahasa-bahasa yang sulit sehingga bisa mudah diterima masyarakat.  Karena sejatinya budaya itu bersifat progresif, alias selalu berubah untuk beradaptasi. Yang pasti abadi adalah perubahan itu sendiri,” paparnya. 

pecas ndase pecah ndahe ndasmu pecah






Konsep baru yang diusung grup music humor Pecas Ndahe berhasil memuaskan dahaga ribuan Ndaser, penggemar setia pecas ndahe, dalam pementasan bertajuk "mati satu tumbuh seribu" di Pendopo Taman Budaya Jawa Tangah (TBJT) kamis (11/12) malam lalu. Dengan mengusung dan berkolaborasi dengan kelompok orchestra dan rebana, Pecas Ndahe berhasil menawarkan konsep pementasan baru dalam pertunjukan mereka. 
Pentas music yang dilakukan bertepatan dengan tanggal cantik, 11-12-13 tersebut menjadi momentum untuk kelompok orkes tersebut ungtuk mengembalikan eksistensi setelah sempat limbung karena ditinggal beberapa pilar. Dalam pementasan sepanjang 2,5  jam lebih tersebut, pecas ndahe menata panggung dengan balutan warna hitam, juga sebagai symbol atas berdukanya mereka setelah salah satu personil, pak dhe Emil meninggal beberapa waktu lalu. Sementara salah satu personil mereka juga keluar karena ada urusan pribadi. 
Dalam pementasan tersebut, pecas ndahe tetap mengusung konsep utama mereka, yakni music humor yang dibalut dengan berbagai dialog di sela-selanya. Yang agak berbeda adalah, penampilan kali ini mereka berkolaborasi degan beberapa seniman muda untuk meniupkan nafas baru. Kombinasi Pecasndahe, Orchesstra dari SMK 8 Surakarta, Trio Gegamas, serta permainan rebana dari kelompok hadrah IAIN Surakarta menjadi kekuatan musikalitas kolektif dari grup Doel Sumbing CS tersebut.
Dihadapan 2000 ndaser yang memadati pendopo, pecas ndahe tampil maksimal setelah beberapa lama mereka jarang tampill ke hadapan public. Banyolan khas mereka yang dipengaruhi oleh dagelan tradisi seperti dagelan mataram dalam ketoprak maupun ludruk mengalir dengan mulus mengocok perut ndaser. Kekuatan komposisi music yang digarap secara rapid an lebih kolosal membuat penampilan mereka kali ini terlihat lebih dewasa dan berkarakter. 
Dalam pementasan tersebut, Doel Sumbing yang ditemani Wisik Sunaryanto dan bintang tamu Max Baihaki yang menjadi frontman melontarkan berbagai macam wajah komedi. Dari humor slaptick sampai dengan kritil social menjadi tema candaan mereka. Berbeda dengan kelompok music humor lain yang banyak mengandalkan candaan lewat komposisi lagunya saja, Pecas Ndahe memberi proporsi dialog dan improvisasi yang cukup lama. Walhasil, penonton seperti menikmati sebuah pementasan drama komedi yang disisipi kekuatan musikalitas Pecas Ndahe. 
Salah satu personil, Wisik, mengatakan bahwa dalam pertunjukan tersebut memang Pecas Ndahe membiarkan permainan para personil mengalir, tentu dengan kemampuan membaca dan menguasai penonton. Tensi kelucuan dengan music dan dialog diatur oleh kemapuan para personil untuk membaca psikologis penonton, sehingga tidak muncul kejenuhan. 
“Dari sebelas lagu baru yang kami rencanakan, dua lagu tidak jadi kami nyanyikan karena waktunya juga sudah cukup panjang. Karena ya itu tadi, improvisasi mengalir tetapi tetap dalam koridor yang menjadi batasan kami dalam pentas,” ungkpanya.
Radit, 35, seorang Ndaser dari boyolali mengaku bahwa kedatanganya dalam pentas dua dasawarsa Pecas Ndahe memang disengaja. Maklum, dalam kurun waktu yang cukup lama tidak menyaksikan pentas langsung orkes humor tersebut.
“Saya puas sekali melihat pecas ndahe, karena setelah lama tidak nonton, saya disuguhi penampilan prima yang berbeda dengan penampilan-penampilan sebelumnya,” ucapnya girang sambil menunjukkan kaos bergambar wajah personil pecas ndahe. 








Sejarah Pecas Ndahe, sebagai salah satu pionir konsep music humor di solo, ternyata tak selucu dengan karya-karya mereka. Sebagaimana kelompok music dan grup seni lainya,para personil pecas ndahe juga mengalami naik turun sampaimenyisakan 7 dari 11 formasi personil awal.
Kemunculan pecas ndahe dimulai dari orkes sukapakah angkatan ketiga, sebuah kelompok ekstakulikuler dari mahasiswa fakultas seni rupa Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) yang terbentuk sejak 1983. Sukapakah generasi ini yang didalamnya berisi wawan (pendiri Bnd Timlo) dan doel sumbing atau sutopo (personil pecas ndahe sekarang) menjadi salah satu kelompok music yang cukup disegani dalam genrenya, keroncong humor. Sampai kemudian, pada tahun 1991 sukapakah dikontrak oleh salah satu major label nasional untuk masuk studio rekaman. Karena kesibukan mereka mangung dan rekaman, sukapakah generasi ketiga atau sukapakah senior lalu membentuk sukapakah junior yang digawangi Wisik Sunaryato, salah satu personil pecas ndahe sekarang. Sukapakah Junior ini dipasrahkan untuk mengisi pertunjukan tingkat local mengingat sukapakah senior cukup laris di tingkat nasional.
Setelah dua tahun berjalan, sukapakah junior makin berkembang dan terkenal. Sukapakah junior puin mengikuti jejak sukses seniornya, dikontrak sebuah stasiun radio. Pada tahun 1993, sukapakah senior dan yunior harus tampil sepanggung di acara ulang tahun di benteng vastenburgh. Lalu perpecahan mulai muncul, kedua kelompok orkes tersebut rebutan nama.
Wiwik Sunaryanto, menceritakan bahwa tepat sebelum manggung, mereka lalu memutuskan untuk membubarkan sukapakah junior dan langsung membentuk kelompok dengan nama baru. Disinilah nama pecas ndahe berasal. Karena mumet kesulitan untuk mencari nama orken baru yang pas dalam waktu singkat, mereka bersepakat untuk menamai orkes baru tersebut pecah ndase (kepala pecah, red). Tetapi karena dianggap terlalu kasar, mereka mengotak atik kata pecas ndase diplesetkan menjadi pecah ndahe.  
“ya begitu, karena ndas kami mumet memikirkan nama baru. Lalu jadilah nama pecas ndahe yang masih kami gunakan sampai sekarang,”jelasnya.
Wiwik melanjutkan, Pasca perpecahan tersebut, adalah doel sumbing yang selalu berusaha mendamaikan keduanya. Akan tetapi karena masalah prinsip dan lain-lain, kedua kelompok tersebut tetap tak akur. Dengan nama baru, pecas ndahe memisahkan diri dari sukapakah. Pada tahun 1995, sukapakah senior sempat vakum dan tenggelam. Setelah itu, sukapakah senior lalu bertranformasi menjadi band Timlo yang digawangi wawan Timlo. Sayang, Doel Sumbing tidak diajak masuk dalam formasi timlo.   
“Saya lalu diajak untuk masuk ke dalam orkes pecas ndahe,” ujar doel.
Perjalanan pecah ndahe pun sempat naik turun, baik dari popularitas sampai bongkar pasang personil. Trerhitung sejak tahun 2006, hanya tinggal 7 dari 11 personil awal yang sampai saat ini masih bertahan. Dengan sisa itu pula, pecah ndahe tetap berjalan dan eksis sampai sekarang.  
“dinamika sebuah kelompok kesenian, apalagi orkes music itu pasti terjadi dimana saja, jadi itu hal yang lumrah. Dengan potensi yang ada saat ini, kami akan terus berkarya dan mengembangkan pecas ndahe. 20 tahun adalah sebuah prestasi tersendiri karena kelompok ini masih bertahan,” Kata doel yang langsung diamini wiwik.




Musik humor tidak berarti remeh temeh. Dalam setiap karya, Pecas Ndahe mempersiapkan segala sesuatunya dengan serius. Termasuk juga dengan tata pementasan sampai dengan nilai konsep dalam karya mereka. Dengan sisa personil yang ada, Pecas Ndahe tetap berkomitmen untuk melanjutkan eksistensi mereka. Program dan manajemen yang baru telah dipersiapkan. Konsep berkarya mereka juga akan terus dimatangkan, tak sekedar menawarkan music, tetapi juga unsure kesenian lainnya. Pementasan ultah ke 20 kemarin menjadi salah satu laboratorium mereka untuk terus menggali dan mengeksplorasi konsep dan potensi musikalitas pecas ndahe.
Wiwik Sunaryato mengatakan, bahwa pementasan HUT ke 20 kemarin menjadi salah satu pijakan untuk kelompok tersebut untuk terus berkarya. Dikatakanya bahwa eksplorasi dan keluasan konsep dalam berpentas masih cukup luas. Meskipun secara kelompok, pecas ndahe adalah sebuah orkes music, tetapi dalam pementasan mereka tak sepenuhnya hanya menawarkan music saja. Tetapi ada dialog antar personil dan para penonton untuk menjaga tensi pementasan. Kelemahan dalam music humor adalah repetisi, sehingga penonton akan cepat bosan. Tetapi dengan memasukkan unsure drama komedi dalam pentas music, itu menjadi kunci agar penonton tidak jengah.
“Konsep lawakan kami pasti juga terpengaruh oleh lawakan-lawakan tradisi, semisal dari ketoprak atau ludruk. Tentunya kami sampai saat ini terus beradaptasi dengan perkembangan budaya agar tetap diterima oleh masyarakat,” jelasnya.
Terlebih saat ini, para personil pecas ndahe juga sudah membangun jejaring dengan seniman lintas disiplin. Sehingga dalam karya-karya mereka selanjutnya,pecas ndahe akan selalu menyuguhkans esuatu yang baru dalam konsep permainannya.

Sementara itu Doel sumbing mengatakan, bahwa selepas pertunjukan kemarin, kelompok ini sudah berkomitmen untuk membuat karya serius diluar pentas tanggapan. Karya serius yang dimaksud bukan berarti tidak ada humornya. Konsep humor yang ditawarkan masih sama tetapi dengan penggarapan musikalitas yang serius, tata pemanggungan atau aspek berkesenian lainnya dengan matang. Selain memantapkan eksistensi, rencana ini akan membuat pecah ndahe menjadi orkes music yang berbeda dengan kelompok lainnya. Pecas ndahe seakan bertranformasi seperti kelompok kesenian lain, seperti tetater atau yang lainnya. Dimana mereka membuat karya bukan hanya untuk popularitas dan keuntungan materiil. Tetapi lebih sebagai wujud eksistensi mereka dalam berkesenian.  
“Mungkin dua tahun sekali kami akan pentas. Jadi tidak hanya pentas ketika ada tanggapan. Setiap berkarya akan menjadi laboratorium kami untuk terus menggali potensi dan bereksplorasi dalam bermusik,” ungkapnya.  
Kefanatikan Ndaser menjadi salah satu sumber kekuatanpecas ndahe. Dulu, pernah pecas ndahe membuat karya pementasan  dimana karya tersebut dikonsep seperti pernikahan jawa. Dress code penonton adalah batik. Sementara tata panggungnya juga diseting sebagaimana pernikahan. Musiknya bahkan menggunakan batik. Dari 2000an penonton yang hadir, semua menggunakan batik. Bahkan banyak yang membawa ubo rampe karena benar-benar mengira bahwa acara tersebut memang pernikahan.
“itu salah satu contoh bentuk pementasan kami. Aspek kesenian lain kami masukkan juga sehingga karya kami dalam pementasanmen kaya unsure keseniannya. Dan kedepan, dengan nafas baru kami akan terus berkarya,” tandasnya.

berita ra payu



Sosoki Wayang Semar Raksasa setinggi 5 meter yang diserahkan beberapa waktu lalu oleh pada jokowi ternyata mempunyai cerita panjang di belakangnya. Dari kekecewaan hingga balutan cerita mistis membalut proses perjalanan semar tersebut sampai ke Jakarta.

“Keinginan membuat sebuah wayang raksasa sebenarnya sudah ada di benak saya sejak tahun 2006 ketika saya lulus kuliah dari jurusan pedalanagnan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta,” ucap Margono, pendiri Sanggar Seni Wayang Gogon.
Pada tahun 2008, dia membuat sanggar wayang di sebuah rumah di RT 3 RW 10 kentingan, Jebres. Rumah yang sama tempat dulu dia indekos sewaktu masih mahasiswa. Dengan mempekerjakan sebvanyak 70 warga tempat asal desanya dan warga sekitar sanggarnya, dia mulai memproduksi wayang yang saat ini penjualannya sudah di eksport sampai ke mancanegara. Disanggar itulah dia kemudian memulai onsesinya dulu untuk membuat sosok semar raksasa.
“Sebenarnya semar raksasa tersebut awalnya tidak diperuntukkan untuk jokowi. Tetapi untuk acara Semar Boyong yang sejaqtinya akan dhelat di kota solo,” jelasnya.
Wayang tersebut pun dibuatnya. Tetapi sampai kemudian wayang tersebut jadi, acara yang dijanjikan oleh pemkot tersebut selalu mengalami penundaan dari tahun ke tahun. Alasannya, banyak ketidak sepaqkatan antara seniman muda dan seniman tua. Gogon, panggilan akrabnya, mengatakan bahwa penundaan tersebut dikarenakan ada kalangan budayawan senior yang tidak setuju untuk boyong semar di kota solo, karena semar tersebut hasil karya gogon yang notabene masih berusia muda, kelahiran tahun 1978. Gogon kecewa. 
“Dulu ada permintaan agar wayang tersebut diarak di Car free Day, tetapi saya tolak. Karena saya sudah terlanjur kecewa,” ungkapnya.
Baru setelah itu, gogon lalu berinisiatif memboyong semar tersebut ke Jakarta untuk dihibahkan ke museum wayang di sana. Gogon lalu mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk dengan sebuah truk yang membuat wayang tersebut terlipat-lipat karena tidak muat. Banyak pihak yang menyayangkan kenapa tidak menggunakan kendaraan yang lebih besar? Tetapi karena sudah teerlanjur, gogon pun tetap melaksanakan rencananya. Tanggal 9 desember, gogon boyong semar ke Jakarta.
“Dalam perjalanan ke Jakarta itulah, ada cerita unik yang mengiringinya. Entah itu kebetulan atau memang ada berbau mistis,” sambung gogon yang memang menggeluti dunia wayang karena memang sudah ada dalam darahnya. Bapaknya juga seorang penatah dan pendalang.    
Dimagelang, tak disangka gogon dan rombonganya disambut bupati magelang dengan berbagai pentas seni tradisi di alun-alun. Perjalanan lalu dilanjutkan ke banyumas, dimana dia mendapat sambutan yang sama. Dari banyumas, gogon melanjutkan ke tegal dan diterima bupati tegal yang juga seorang dalang kondang, Ki Enthus Susmono. Dari situ, longmarch dilanjutkan sampai ke Jakarta.
“anehnya, meskipun selalu mendung tetapi rombongan kami tidak pernah ketemu hujan sepanjang perjalanan. Hujan hanya mengikuti atau mendahului perjalanan kami meskipun sepanjang perjalanan ke Jakarta langit selalu mendung.  Di tegal misalnya, disana selama dua hari hujan. Ketika sampai sana pas sudah terang. Begitu juga di tempat-tempat lain,” terang pria yang baru saja mendapat seorang anak 4 bulan lalu tersebut.
Maklum saja cerita hujan ini menjadi istimewa. Karena bila rombongan kehujanan, dipastikan wayang semar akan rusak karena dibawa di atas bak terbuka dan hanya ditutupi kain plastic. Dan cerita hujan ini masih berlanjut. Sesampai di monas, gogon yang awalnya ingin menghibahkan semar ke museum wayang urung dilaksanakan. Karena pihak museum mengabarkan, bahwa diperlukan proses administrasi dan sebagainya, sehingga terpaksa hibah harus diundur tahun 2014. Dalam kondisi bingung, gogon lalu memikirkan akan diapakan wayang tersebut. dan lalu terpikirlah sebuah ide untuk menyerahkan wayang tersebut pada jokowi. Lagipula kakarkter semar ini lekat dengan jokowi, yakni sebagai pengayom masyarakat. pada saat itu, sekitaran monas hujan, tetapi tidak di tempat gogon berada.
“Di situ pula saya lalu menyadari, bahwa wayang semar ini selalu berkaitan dengan angka 11. Jumlah kelompoknya termasuk sopir 11 orang. Saya membuat wayang dari 9 kulit kerbau dan 2 kulit kambing, jadinya 11 juga.   Sampai di Jakarta tanggal 11 juga,” ceriteranya.
Pagi tanggal sebelas, gogon berangkat ke balai kota Jakarta untuk menyerahkan wayang pada jokowi pada jam 11. Dalam perjalanan, hujan masih juga menghindar dari rombongan gogon. ketika keluar kawasan monas, hujan mengguyur monas. Dan sepanjang daerah yang dilalui ke balai kota hujan tiba-tiba berhenti. Pukul sebelas lebih sedikit, gogon diterima jokowi. 
“oleh pak jokowi, wayang tersebut lalu diletakkan di museum wayang. Dan akhirya, museum wayang langsung menerimanya karena wayang tersebut sudah atas nama jokowi. Wayang semar raksasa akhirnya sampai di tujuannya,” pungkasnya

Minggu, 08 Desember 2013

rock dan sebagainya

dewane rock su



Narasi kebudayaan dan kaitannya dengan kultur social di masyarakat bukan hal yang mudah untuk dipetakan. Dari pengamatan pada kultur music cadas dan infiltrasi budaya popular pada masyarakat, ada negosiasi ideologis yang membentuk kelompok ini menjadi bagian integral dalam

narasi sejarah kebudayaan masyarakat.

Adalah Yuka Dian Narendra mangoenkoesoemo yang Lahir di Jakarta tanggal 15 September 1972, peneliti muda yang sedang mencoba memetakan dan mengidentifikasi kultur budaya masyarakat dalam desertasi yang coba diselesaikannya. Pria 41 tahun yang saat ini masihn mengambil program S3 di fakultas Budaya Universitas Indonesia ini sedang melakukan pengamatan dan penelitian pada sub-kultur masyarakat penggemar music rock, dimana dimana kultur yang satu ini seringkali
dicap sebagai anak haram kebudayaan.  Padahal sebagaina kultur kebudayaan lainnya,

“Padahal kalau dilihat, setiap bentuk kultur mempunyai jejaring dan ekosistemnya sendiri. Budaya popular tak dapat berdiri sendiri tanpa ada ideology dan keterkaitan dengan sub-kultur lainnya. Budaya populer seperti music rock juga, itu tak sekedar produk ekonomi semata, tetapi ada kaitannya dengan sosio-politik yang punya landasan ideologis,” jelasnya pengemar music cadas ini membuka pembicaraan.

Menurutnya, ada kesalahan strategi budaya yang diterapkan. Antara lain, pemegang kewenangan cenderung membingkai kebudayaan hanya sebagai sebuah produk yang bisa dinominalkan. Dalam arti,produk budaya
hanya dipandang dari sisi ekonomis, budaya dilihat hanya dari sisi komersilnya saja. Padahal budaya sendiri adalah cerminan dari pemikiran dan tingkah laku dalam masyarakat, yang nantinya pasti akan dalam membentuk pola kebudayaan baru yang berkembang. Jika konsep
strategi kebudayaan ini terus dilakukan, maka dikhawatirkan hal ini akan membentuk budaya masyarakat yang materialis dan tak punya
karakter.
“Strategi budaya harus dirubah. Yakni bagaimana seharusnya membentuk cara pandang masyarakat dalam memandang kebudayaan sesuai dengan tracknya, sehingga bisa membentuk masyarakat yang dewasa dan matang.
Selain itu, adanya kultur budaya yangberbeda-beda harusnya saling terkait dan melengkapi, bukannya saling meniadakan. Harus ada negosiasi antarkultur budaya yang berbeda tersebut sehingga nanti akan membentuk kultur pola yang baru,” paparnya.
Dijelaskannya bahwa setiap zaman punya generasi yang selalu memberontak. Dalam arti, mereka berusaha menciptakan tatanan, yang sesuai dengan yang ada didalam otak mereka. Dan terutama kentara sekali, pemberontakan dilakukan sesuai dengan cara anak muda. Saat ini, banyak pemuda yang berusaha menjadi diri mereka sendiri dengan menciptakan identitas  mereka sendiri. Seringkali, pemberontakan yang mereka lakukan terhadap tatanan yang ada diekspresikan melalui produk
kebudayaan, salah satunya adalah music cadas. Menurutnya, infiltrasi budaya kerap kali masuk melalui budaya popular, meskipun budaya popular ini banyak dianggap sebagai budaya kelas dua. Tetapi karena cakupan budaya pop ini begitu luas, maka pengaruhnya pun sangat besar dalam mengkonstruksi budaya di masyarakat.
“Semisal setiap perubahan kebudayaan dan bakan agamas sekalipun selalu masuk melalui budaya popular. Di setiap perubahan agama dan kebudayaan, pasti ada sekelompok masyarakat yang mencoba menerapkan tatanan yang dirasakan sesuai pada zaman tersebut,” tambah pria Lulusan program studi desain komunikasi visual, Fakultas Desain dan Tehnik Perencanaan Universitas Pelita Harapan, Tangerangm dan selama kurun 2001 sampai 2004 menjadi staf pengajar di jurusan desain komunikasi visual dan desain interior Universitas Pelita Harapan dan juga menjadi staf pengajar Cybermedia College ini.
Kedatangannya ke solo kali ini juga tak lepas dari disertasi yang sedang dikerjakannya. Selain terlibat dalam pembuatan video dokumentasi Rock in Solo yang akan dihelat sabtu-minggu besok, dirinya juga akan meneliti perihal solo yang sedari awal dikonstruksi pemerintah sebagai gudang tradisi dan sejarah. Tetapi disisi lain, Solo juga tidak bisa dilepaskan dari pembentukan sejarah budaya popular, utamanya music cadas sebagai salah satu representasi budaya popular modern di Indonesia.  Sebagai contoh, band cadas laiknya Kaisar, Trencem, Young Brothers  dan kelompok lain yang menjadi tonggak music rock diindonesia, lahir di solo. Dari sisi itulah, bisa diidentifikasi bahwasanya di solo mempunyai potensi keberagaman budaya yang sangat tinggi untuk digali lebih dalam, bukan melului soal
tradisi.
dewane gitar ndes


“Untuk di Indonesia, hanya bandung, Jakarta dan solo yang punya andil besar dalam sejarah music rock di Indonesia. Tetapi bandung dan Jakarta lain kedua kota tersebut memang sudah dikonstruksi menjadi
kota modern sejak jaman colonial. Beda dengan solo yang punya basis tradisi yang amat kuat, tetapi mempunyai pengaruh yang besar pada budaya popular,” terangnya.
Pria beristri dengan satu anak ini juga menambahkan, bahwa kebudayaan, dalam hal ini tradisi tidak seharusnya stagnan. Budaya adalah hal yang dinamis dan selalu berubah. Strategi budaya adalah dengan menggali masa lalu untuk mengkonstruksi masa depan. Ada nilai yang harus
dirubah, ada pola yang harus dibuang. Budaya adalah hal yang progresif, mengidentifiksi budaya dan tradisi bukan untuk menggali chauvinisme yang lebih besar.
Pilihannya untuk mengulik music rock dengan berbagai atributnya untuk salah satu bahan disertasinya sendiri dia lakukan karena kecintaannya pada aliran music ini. Suatu hal yang dikatakannya untuk
“memperjuangkan kelompoknya” agar diterima secara wajar di masyarakat.

“narasi tradisi atau sejarah bukan hal yang beku. Dimana narasi yang mengkonstruksi bobroknya kebudayaan dalam masyarakat sekarang ini pasti dari pemerintah yang salah dalam menerapkan strategi
kebudayaannya. Dan Rock in solo adalah salah satu perlawanan untuk represi tersebut. Dimana anak muda mencoba menemukan identitas melalui caranya sendiri, yakni dengan pemberontakan atas represi kebudayaan, dimana music rock dan segala atributnya sekarang ini cenderung dicapnegative oleh masyarakat,” pungkas pria yang sampai saat ini aktif di Jakarta biennale dalam beberapa kesempatan tersebut.

keris dan sebagainya




Menilik sejarah keris adalah sejarah politik, khususnya di kerajaan-kerajaan jawa. Dalam rentang waktu yang panjang sejak keris mpu gandring digunakan ken arok untuk membunuh tunggul ametung hingga kisruh kirab pusaka keraton kasunanan Surakarta beberapa waktu lalu, keris selalu berada di pusat perebutan legitimasi politik kekuasaan. Keris kerap kali pula diidentikkan dengan kuasa mistik pemiliknya.Dalam kosmologi masyarakat jawa yang menganut patriarki, keris merupakan salah satu dari lima hal yang harus dipunyai untuk mencapai keseimbangan hidup. Dalam hal ini, keris masuk dalam konsep curiga. Sedang empat lainnya adalah kukila atau piaraan, turangga atau tunggangan, wisma atau rumah dan terakhir adalah garwa atau istri.
Keris dipandang mempunyai suatu daya mistis yang lebih besar dari pada jenis senjata yang lain, sehingga memerlukan perlakuan yang berbeda pula. Keris dan senjata lain keramat lainnya atau sebagai pusaka harus dibersihkan (jamasan) setiap periode tertentu dengan upacara-upacara yang khusus pula. Senjata keramat tersebut dianggap mempunyai suatu daya magis, mempunyai roh yang dapat mempengaruhi kehidupan sang pemilik dan bahkan lingkungan sosial di lingkup kekuatan benda keramat tersebut. Hampir tiap keris sebagai senjata keramat mempunyai kesejarahannya masing-masing. Keris mpu gandring, dalam mitologinya, menjadi senjata yang menghabisi ken arok dan keturunannya. Sementara keris setan kober juga menjadi senjata yang mencabut satu per satu per satu pewaris tahta kerajaan demak hingga lahir kerajaanmatarm baru. Dalam sejarah politik jawa lampau, sebagaimana tertulis dalam babad-babad tanah jawa, keris menjadi symbol legitimasi kekuasaan.
Persebaran keris ini tidak hanya ada di jawa saja. Dalam tradisi-tradisi melayu, penggunaan keris masih kerap terlihat. Bahkan filipina juga mempunyai kerisnya sendiri. Sedang di indonesia, sumatera, lombok, sulawesi dan bali juga menjadikan keris sebagai salah satu bagian daei budayanya. Ditilik dari kesejarahan, penyebaran keris ini tak lepas dari masa ketika kekuasaan majapahit menguasai wilayah yang dinamakan nusantara. Tentu saja, kekuasaan politik ini juga membuat budaya lokal setempat terpengaruh dengan budaya majapahit, termasuk didalamnya adalah keris.
Dalam pembuatannya, hasil budaya yang sudah masuk dalam lindungan UNESCO sejak 2005 ini memang tidak dibuat untuk kepentingan praktis sebagai sebuah senjata saja. Daliman, salah satu dari sedikit empu keris yang masih tersisa sekarang ini menjelaskan, bahwa satu pembuatan keris yang bermutu bagus memerlukan waktu sebulan lebih. Pembuatannya pun tidak sembarangan, yakni melalui proses ritual dengan segala macam sesaji yang mesti tersedia.
Empu keris ibaratnya adalah sama dengan seniman. Pembuatan karya harus melalui proses terlebih dahulu, antara lain memahami karakteristik dan ide yang akan dituangkan dalam karyanya. Dan bagi para empu keris, medium pncarian ide yang bersifat spriritual itu dilakukan lewat puasa dan berbagai laku lainnya.
"karena keris juga adalah karya seni yang mempunyai nilai estetika. Ada maksud dan ide yang disematkan dalam karya, sama sebagaimana karya seni lainnya. Jika proses produk massal ditujukan untuk kepraktisannya, maka keris adalah sama seperti karya seni lainnya, keris mempunyai ide dan makna yang ingin disampaikan," jelasnya.
Secara garis besar, ada tiga bahan utama pembuatan keris. Yakni baja, besi terakhir adalah nikel yang nantinya akan membentuk pamor keris. Setelah ketiga bahan utama tersebut diluruhkan dan bercampur, kemudian ditempa dalam suhu 1000 derajat celsius kemudian dilipat dan ditempa lagi. Proses tersebut dilakukan berulang-ulang sampai bentuk keris sesuai dengan yang diinginkan si empu.
"dalam proses pembuatan ini, sang empu harus bisa menilai dan membaca karakter si pemesan. Semisal jika berdasar petungan jawa si pemesan itu pemarah dan sebagainya, maka keris yang dibuat adalah keris yang bersifat kebalikannya. Jadi keris disini adalah sebagai penyeimbang agar kehidupan menjadi selaras," terangnya.

J.F Dingemans, seorang budayawan belanda masa lampau pernah menuliskan bahwa  dalam tulisannya mengenai seni pembuatan pamor. Jika dirunut ke belakang, dalam salah satu teori asal mula keris disebutkan teknik penempaan yang berasal dari persia ini (atau banyak yang mengatakan dari damaskus) ini masuk ke Nusantara melalui India pada melalui persebaran kebudayaan hindu. Dan yang paling mencolok pada keris adalah pada pamor yang berarti campuran, besi campuran dan diambil dari suku kata wor yang artinya mencampur. Yaitu penempaan plat baja dan logam dengan kandungan nikel secara bersamaan hingga melebur.
Pada lapis permukaan, lapisan nikel itu menjadi tak tampak hingga kemudian diasamkan dengan asam arsenik sehingga bahan-bahan logam selain nikel akan luruh dan meninggalkan lapisan nikel yang akan membentuk kontur atau relief yang timbul pada keris.
Dari nikel yang yang membentuk relief itulah muncul pamor dari keris seperti yang kita kenal sekarang ini. Ketika teknik tersebut memunculkan pamor dengan motif-motif yang berbeda, maka para mpu pembuat keris kemudian melakukan pengerjaan pamor secara rahasia. Dalam perkembangannya, pamor kemudian dirancang sesuai dengan motif pamor yang akan dimunculkan. Tergantung dari penghitungan komposisi dan teknik penempaan yang berbeda pula dari setiap jenis pamor. Karena tingkat kesulitan inilah pamor akhirnya menjadi sebuah identitas bagi para Mpu. Dalam lingkup yang lebih luas, keris dengan pamor-nya—yang merupakan pembeda keris dengan senjata lainnya—menjadi identitas si empunya sendiri.
"meskipun perab empu dalam budaya keris sangat sentral, tetapi sampai saat ini belum ada lembaga atau organisasi yang mengayomi para empu yang saat ini sudah sangat sedikit jumlahnya. Begitu juga sampai saat ini belum ada pihak yang membuat standarisasi para empu" ujarnya.
Hal ini, menurut daiman, sangat penting untuk diadakan. Karena seorang empu bukan hanya pandai besi yang bermodal palu saja dalam membuat keris. Empu harus mengetahui konsep dan nilai filosofis yang terkandung dalam keris. Seorang yang membuat keris dalam produksi cetakan massal bukanlah seorang empu. Dengan adanya standarisasi tersebut, maka kualitas keris tetap terjaga.
"semoga nantinya dengan keberadaan museum keris yang sedang dibangun dapat mengakomodasi berbagai hal terkait dengan pelestarian keris," tandasnya. 



keris lagi

Keris dan sebagainya

Keris, bagi masyarakat jawa bukan melulu senjata dalam artian praktis. Keris yang bila dalam perang hanya keluar dari sarung ketika dalam keadaan terdesak, lebih cenderung menjadi wujud kompleksivitas spiritualitas masyarakat jawa. Sebuah symbol spiritual sebagaimana symbol dalam produk kebudayaan lain. pengejawantahan ini bisa ditelusuri dari berbagai proses pembuatan hingga detail fisik yang ada dalam keris. Menurut Ronggojati Subiyanto, salah satu tokoh yang mengamati dunia tosan aji, dari wujudnya saja sudah bisa dilihat bahwa keris dibuat bukan untuk senjata dengan kepentingan praktisnya saja. Dijelaskannya bahwa ada 2000an jenis pamor, 63 dapur dapur pakem keris lurus, 17 dapur pakem keris lik 3, 19 dapur pakem keris luk 5, dan seterusnya sampai luk 29, dimana semua luk untuk keris adalah angka ganjil dan sebagainya. 
Tiap lekukan dalam keris bukan semata ornamen yang bermaksud pelengkap estetis saja. Ada banyak penjabaran makna dan arti dari setiap lengkung bilahnya. Keris, sebagai salah satu senjata pusaka dalam masyarakat jawa mempunyai nilai tangible dan intangible yang sudah disematkan sejak pertama kali keris tersebut dibuat. Sebagaimana sebuah karya seni, nilai filosofis keris sudah disematkan dalam proses pembuatannya. Didalam keris tersemat sebuah ide, bukan melulu sebagai sebuah senjata tikam. Semisal dalam sebilah keris, secara umum terdapat dua bagian, yakni wilahan atau bilah serta pesi, bagian berukir di pangkal wilahan. Di pesi sendiri terdapat macam-macam bagian, seperti tiket alis, kembang kacang dan sebagainya. Dimana pada bagian ini ada juga wujug aksara jawa yang mengartikan sesuatu. 
“Dalam pamor, yang terkenal adalah pamor beras wutah dan sebagainya. Pamor ini juga tidak dibuat sembarangan, tergantung dari maksud apa keris tersebut dibuat. Intinya bahwa selain kajian estetika, keris sendiri mempunyai nilai filosofisnya sendiri. Keris merupakan salah satu perwujudan symbol spiritual masyarakat jawa,” jelasnya.
Mengidentifikasi makna dalam setiap tindak tanduk budaya jawa bukan hal mudah. Bagi masyarakat jawa, ada istilah yang menjadi patokan dalam spiritualitas masyarakat jawa, bahwa setiap kata mempunyai makna. Hal itu bisa diidentifikasi dari bentuk beragam ritual, tradisi serta produk kebudayaannya. Dalah gerak tari jawa, satu jentikan jari dan kerlipan mata bukanlah sebuah kesengajaan yang tak mempunyai arti. Sebagaimana keris, mulai dari bilah, gagang hingga sarungnya mempunyai makna yang bisa dibaca. Setiap detail dibuat dengan cermat untuk tujuan tertentu. 
Dari pembacaan symbol pada keris inilah, keris menjadi tuntunan hidup bagi pemiliknya. Arti pusaka pada sekarang ini bukan mengacu pada hal mistis, tetapi lebih bersifat spiritual. Karena itulah, biasanya si empunya keris akan meminta sebilah keris dengan pamor ataupun ornament yang sesuai dengan sisi spiritualnya atau dengan derajat kepangkatannya dalam masyarakat. 
“artinya adalah keris yang memiliki makna-makna tertentu menjadi semacam penanda untuk menjadi tuntunan hidup. Keris mempunyai symbol-simbol yang harus dibaca sesuai dengan karakter keris tersebut. Dari situlah sekarang ini makna keris menjadi pusaka,” tambahnya. 

caleg dan tyrex

iki pentase




Caleg rupanya sosok yang menarik hati bukan hanya para pemilih, tapi juga bagi para seniman, termasuk pula Jemek Supardi yang mengisahkannya dalam pentas bertajuk Calegbrutussaurus

Jemek supardi, aktor senior dalam dunia pantomim tersebut berpentas tunggal dalam pergelaran bertajuk Calegbrotossaurus di Taman Budaya Yogyakarta Rabu (18\3). Sesuai judul yang disematkan pada pentas kali ini, tema yang diusung tentu saja tak jauh dari gawean politik nasional yang berlangsung sekarang ini, yaitu pemilu.

Koridor societet de militer dilejali dengan poster Jemek Supardi yang nyaleg dan slogan-slogan berbau politis. Di pintu masuk ruang pertunjukan, penonton wajib mencelupkan jari ke dalam tinta. Sekilas situasi mirip Pemilu. Penonton padat memenuhi tribun. Ketika Jemek muncul di sela-sela tribun penonton dengan kostum khas para caleg, setelan jas berpadu dengan peci hitam lengkap dengan sebingkai kacamata yang hitam pula. Diiringi tim suksesnya, Sang caleg membagi-bagikan amplop ke para penonton, bukan sebuah satire tentu saja, karena praktek money politic memang sudah mentradisi dan menjadi mekanisme yang sah dalam demokrasi kita, lho? Orasi-orasi bergema, mendendangkan nama Jemek sebagai orang suci sejenis gandhi atau bunda Teresa.  Lagu pemilu Masih berkumandang dengan merdunya, mengiringi sang caleg yang sedang sibuk menebar pesona amplopnya.


TENTANG CALEGBRURUSSAURUS
Setelah hingar bingar di kerumunan penonton, sang caleg bergerak menuju panggung dan menemukan kegelisahanya, bilik kotak suara. Tiga kerangka kotak menempati pangung, dingin dan kaku. Jemek berolah, sepintas mengingatkan gaya Charlie Chaplin. Mengeksplorasi bilik suara tersebut dengan mimenya. Matanya curiga, mimiknya waspada, bolak-balik menyambangi bilik tersebut satu persatu. Ketika suara menjadi begitu berharga, maka ribuan rayu menghujam di telinga-telinga, mata-mata dan kantung-kantung kita. Dalam bilik suara, segala rayu dan janji dipertaruhkan. Bilik suara menjadi ruang yang panas sebenar-benarnya, menyangkut ukuran bilik tersebut tentu saja. Dan yang menjadikanya lebih pengap adalah karena disana penuh dengan intrik personal para pemilih maupun yang berkepentingan. Segala cara dilakukan demi suksesi di bilik suara. Rasa curiga meneror, kepercayaan menjadi sesuatu yang teramat mahal. Dalam Teror Bilik Suara, sebuah sesi pertama dari trilogi tersebut, bilik suara menjadi medan tempur, dimana selintas kerling mata dan sesungging senyum bisa menjadi berbahaya dan bisa dikategorikan sebagai tindakan subversif.
Calegbrutussaurus adalah sebuah trilogi tentang caleg, sosok yang begitu dipesonakan oleh suara. Sosok yang kadang-kadang menjelma menjadi suci, agung dan bijaksana. Dan banyak dari mereka terbuktikan menjadi sosok yang memang kadang-kadang menjadi brengsek. Mahluk jenis ini adalah jenis spesies yang mudah gelisah, yang wajib mengumbar janji, dan kerap kali harus dibungkus dengan sedikit pemanis demi suara-suara. Spesies yang ini terkadang harus akrab dengan curiga. Yang terkadang pula menangisi kekalahan dengan sedikit kegilaan seperti ditunjukkan Jemek dalam bagian ketiga trilogi tersebut, Teror Gambar Dalam Poster. Ketika modal ratusan juta tertukar poster-poster yang teronggok dalam kantong sampah, atau sekedar menjadi bungkus tempe goreng.
Sang caleg muncul  ke dalam panggung. Jalanya gontai, wajahnya lesu, ekspresinya begitu kaku. Dilepaskanya menyisakan celana kolor. Dengan sinis Dipandanginya satu persatu poster yang memuat fotonya. Dan akhirnya memang ketahuan, spesies ini ternyata masih satu ordo dengan spesies homo sapien yang punya harga diri dan rasa malu. Dunia sang caleg tiba-tiba menjadi begitu rapuh ketika suara-suara tidak tertambat dalam jalanya. Diambilnya sebotol minuman keras, tentu saja dalam perspektif pantomim. Ditenggak sampai ke botol-botolnya. Marahnya berbaur dengan sesal dan malu. Sang caleg mengumpat dengan tubuhnya, melampiaskan kekesalan dengan kencing yang diguyurkan ke posternya sendiri.
Memang tak salah baginya untuk mengusung kebrengsekan para caleg pada pementasanya, termasuk duka para caleg ketika hamburan modal untuk kampanye menguap dan  menertawakan kekalahan mereka dalam jenaka seperti dalam pentas Jemek kali ini. Hanya saja kadang-kadang kita terjebak pada situasi dimana kita kemudian terlalu antipati terhadap  keberadaan caleg, adanya pesta demokrasi yang bernama pemilu untuk menopang kelangsungan demokrasi. Caleg, tentu saja memang sering menjadi kambing hitam dalam soal ini. Hanya karena banyak dari mereka yang memang brengsek,  tapi tetap saja kita membutuhkan suatu sistem bernama pemilihan umum, dimana keberadaan spesies bernama caleg ini  ternyata masih juga dibutuhkan kehadiran dan eksistensinya. Bahkan terkadang dirindukan janji-janjinya. Dan jemek telah membuktikan bahwa ternyata calegbrutussaurus ternyata adalah sejenis manusia juga.



TENTANG JEMEK SUPARDI
Jemek Supardi, sosok lelaki yang terlahir sekitar 52 tahun lalu ini memang secara konsisten menekuni dunia pantomim sebagai media yang digelutinya. Alkisah karena kemampuan menghafal naskahnya dalam ranah keteateran yang memang kendor, maka diapun banting setir ke pantomim yang dipahaminya sebagai suatu media lebih mudah karena ketiadaan dialog secara verbal. Dan memang di ranah inilah dia berkonsistensi. Sejak pementasan sketsa-sketsa Kecil di tahun 1979, dia memulai petualanganya sebagai pantomimer sampai saat ini yang kurang lebih telah mencakup puluhan karya.  
Dalam umur yang terhitung sudah tidak muda lagi, kemampuan jemek dalam mengolah tubuh menjadi suatu media bahasa yang inspiratif merupakan kelebihanya. Bergulat dengan tubuh yang makin renta tentu saja bukan suatu hal yang mudah, terlebih dalam pantomim yang menggunakan tubuh sebagai pemakna.
Seni pertunjukan bisu ini merupakan seni pertunjukan yang telah mampu berdiri sendiri, sebagai salah satu media yang komunikatif dalam kontek seni pertunjukan. Sehingga para pantomimer terutama jemek telah diakui eksistensinya. Bukan hal mudah untuk konsisten selama puluhan tahun dalam dunia pantomim yang kerap dipinggirkan sebagai salah satu bentuk seni pertunjukan bagi pria yang menurut kabar burung dikategorikan bengal ketika masa mudanya ini. 
Dan Jemek supardi, yang mencalonkan diri dengan mengusung partai “Pantomim Jelas Bisu”, dengan slogan partai “Sudah teruji dan terbukti; Pantomim Tanpa Bicara Banyak Bekerja” memang sudah teruji dan terbukti.
 lanjutken deh...


jarene monolog

Wajah Alienasi Dunia Ketiga



Pada wajah itu begitu bersahaja. Sebuah senyum simpul yang sederhana.  salah satu tanganya memegang belakang kepala sebagaimana anak kecil tersipu,  utuh dalam ekspresi sebuah lukisan bercorak  realistic fotografis. Sementara tampak belakang dua orang anak kecil lain yang saling berbisik, hanya saja pada objek ini dipaparkan dalam bentuk yang lain, seperti  sebuah mozaik pada langit-langit gereja yang tercoret pada kanvas. Lukisan tersebut berjudul dialog.  Dari komposisi tersebut, Terlihat memang hansen Thiam Sun, pelukis kelahiran toho, kalimantan barat 49 tahun yang lalu ini bermain-main dalam kerangka lukisan yang tidak sebagaimana lazimnya,  objek sentral lukisan tersebut bersumbu pada dua sosok mozaik tersebut tentu saja ketika ditafsir secara sederhana- bukan pada sebuah figur utuh yang begitu kuat dan mendominasi setidaknya  secara visual dalam lukisan tersebut. Terdapat value atau bobot yang sama atas figur yang dilukis dari tekhnik yang berbeda-beda tersebut. Atau mungkin juga lukisan tersebut menawarkan suatu bentuk
“dialog” yang lain, suatu bentuk dialog pada sebuah alienasi, sebuah anak kandung dari modernitas, yang mau tidak mau berimbas pada pergeseran nilai sosial pada masyarakat kita.  Setidaknya mungkin  secara sederhana tafsir itulah yang tertangkap, akan tetapi bila mengingat konteks seni rupa sekarang ini, tentu saja akan tidak menjadi  sesederhana itu. Tafsir-tafsir lain masih begitu terbuka, pemaknanan yang dinamis tentu saja diperlukan dalam menilai sebuah karya seni dengan model seperti ini, tergantung dari kontek dan kebutuhan saja kiranya. Setidaknya dalam kontek seni rupa kontemporer sekarang ini, objek gambar merupakan sebuah teks yang menawarkan begitu banyak pembacaan akan suatu makna yang terkandung dalam lukisan itu sendiri. Dengan memanfaatkan distingsi warna-warna yang kontras, nilai yang ditawarkan dari lukisan ini bukan melulu sebuah wacana yang terkadang asal tempel dalam karya, setidaknya didalamnya masih terbaca suatu pretensi estetik, konsep estetika yang “sederhana”, sesuatu yang kadang menjadi pilihan nomor kesekian atau bahkan terkesan diacuhkankan dalam kontek nilai estetis seni rupa kontemporer sekarang ini.
La art pour art
Hampir sebagian besar lukisan Hansen pada pameran bertajuk in the crowd yang berlangsung di H2 Art Gallery semarang, 30 Oktober sampai 11 September 2009 ini mempunyai motif dan model yang sama. Mengusung wacana-wacana sosial pada masyarakat pada sebuah era dimana ada anggapan bahwa karya-karya perupa kita cenderung “eksklusif”,berada dalam sebuah menara gading yang mewah, tentu saja bila dikaitkan pada keadaan sosial kita sekarang ini, yang kebanyakan memang mengangkat tema yang begitu asing pada telinga masyarakat kita. Dalam kali ini tentang alienasi yang mungkin bisa dikatakan sebagai penyakit yang terlalu modern merujuk pada pola sistem dan situasi sosial pada masyarakat kita, Alienasi pada sebuah negara dunia ketiga. Mungkin terdengar agak janggal di telinga kita, tentang sebuah “penyakit modern” yang belum seharusnya menjangkit pada masyarakat kita yang masih terlalu sibuk dengan tuntutan perut. Kemungkinan bahwa terdapat kesenjangan yang begitu lebar pada para perupa kita dengan mayoritas masyarakat kita dalam hal pola pikir dan penawaran wacana, sehingga terkadang anggapan “seni untuk seni” masih sulit untuk dilepaskan melihat masih begitu minimnya pengaruh dan implikasi dari suatu karya seni tersebut kepada masyarakat. Perihal pilihan para peseni rupa untuk berada dijalur tertentu memang sesuatu yang tak bisa disalahkan dan sepenuhnya menjadi hak mereka menimbang bahwa mereka tak menanggung beban moral untuk bertanggung jawab membawa perubahan dalam masyarakat. Tapi banyak dari suatu karya seni rupa yang banyak berakhir di galeri ataupun menjadi koleksi eksklusif para kolektor memang kadang menjadi urusan lain.       

Dinamika keramaian
Lukisan-lukisan tersebut terkesan menampilkan sebuah alienasi, keterasingan individu-individu di dalam sebuah Crowd-keramaian manusia-manusia- dimana dalam keramaian itupun, keberadaan sesosok individu tentu saja merupakan unsur yang tak bisa dikesampingkan. Individu itu sendiri adalah sosok tunggal yang membentuk sebuah kerumunan, yang biasanya kemudian terkesan dikesampingkan ketika terlebur dalam suatu massa –keramaian-. lewat komposisi dari lukisan-lukisanya, penegasan perihal alienasi atau keterasingan tesebut agaknya terbaca dari barbagai teknik lukis yang terkomposisi dalam suatu kontras antara berbagai objek  dalam lukisanya. Kontras warna antara sebuah kontur mozaik dengan foto realistik setidaknya merupakan pencerminan dari hal tersebut. Hal itu juga mungkin merupakan upaya hansen sebagai penegasan terhadap dimensi dan lapisan-lapisan ruang yang berbeda dengan penggunaan warna-warna yang tajam sebagai latar pada lukisan-lukisanya. Juga Pemilihanya pada anak sebagai figur pada banyak lukisanya memberikan warna yang lain, bila dikaitkan dengan tema alienasi pada karyanya, Bagaimana ketidaksadaran sosial tersebut bahkan tidak hanya didominasi orang dewasa saja, mungkin saja persepsi tersebut muncul dari subjektifitas hansen sendiri atas observasi pada kondisi sosial di sekitarnya, tapi membicarakan sebuah keterasingan pada dunia anak-anak adalah suatu hal yang baru dan mengejutkan. Terlepas dari hal diatas, upaya hansen untuk menciptakan sebuah dinamika keramaian dalam karyanya lewat figur-figur yang berdesak-desakan dalam sebidang kanvas terutama dengan berbagai tehnik lukis yang digunakanya akan tidak saja membangun suatu dinamika kerumunan secara verbal, tetapi akan mengarahkan persepsi kita pada suatu makna-makna simbolis yang memang menjadi nilai penting dalam karyanya. Dalam sebuah lukisan berjudul guru dan murid, tampak bagaimana hansen begitu inten dengan masalah modernitas ketika hal tersebut berbenturan dengan identitas budaya dan sosial pada masyarakat kita. Figur guru tersebut yang tercoret dalam fotografis lengkap dengan hiasan bunga di kepala membelah  kanvas menjadi dua dunia yang berbeda. ketika tampak guru tersebut sedang mengajarkan anak-anak sebuah pola tari tradisi pada sebuah latar oranye yang mencolok mata, sementara pada bidang di sebelahnya segerombol anak kecil berpose dengan tiga jari khas ala rocker dengan background kuning muda. Pola-pola seperti itu juga muncul; dalam karyanya yang lain seperti relaks, fur alim, ikan besar dan fashion show. Sementara pada karyanya yang lain, dia tampak begitu akrab dengan tema keseharian dan kesederhaaan. Simaklah dari judul-judul semacam17 08 09 yang memvisualisasikan lomba makan kerupuk seperti pada sebuah selebrasi hari kemerdekaan, atau lukisan berjudul bermain yang didalamnya tampak seorang anak kecil yang bermain di hadapan figure-figur mozaik dan lukisan-lukisan lainya seperti andai aku seorang superstarberbaris, berbagi dan lukisan lain dengan konsep dan tema seperti itu. Akan tetapi yang perlu dicermati adalah konsep kesederhaan menurut Hansen tentu menawarkan sesuatu yang penuh komplektivitas merunut pada proses kreatifnya yang sering berpameran di luar negeri, beberapa publikasi internasional diantaranya di New York Art Magazine serta tercatat sebagai satu-satunya perupa dari Indonesia yang mendapat undangan dalam Venice Biennal bulain juni lalu yang katanya merupakann parameter estetis perupa dari seluruh penjuru dunia.
Walhasil masyarakat seni rupa semarang kembali menjadi penonton yang diragukan kesetianya ketika para perupa dari luar semarang unjuk gigi. Mungkin saja dengan seringnya semarang menjadi tempat berpameran perupa luar akhir-akhir ini dapat menjadi cambuk bagi perupa semarang untuk lebih dapat menunjukkan taringnya sehingga iklim berkeseni-rupaan di semarang menjadi lebih dinamis dan mengakar. Dan memang bila mengingat kota semarang memang tidak mempunyai akar yang kuat dalam budaya yang dari dulu memang dikenal sebagai kota dagang dan industri, maka tentu saja sangat tidak diharapkan bahwa dalam hal seni rupa pun semarang hanya menjadi transit perdagangan, begitu?